Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 18 Februari 2011

Cerita Tak Berlanjut......

Memo 1974

Terlahir sebagai anak lelaki pertama dari sebuah keluarga sederhana.

Terlahir bernama Lingga.........

Terlahir dari Ibu bernama Retno dan Ayah bernama Galih....

Terlahir dan dibesarkan disalah satu daerah kumuh ...............

Terlahir dengan  Jiwa dan Sifat yang banyak terpengaruh dari lingkungan dimana dia tinggal.

Terlahir dengan Masa kecil yang lalui dengan penuh warna. Warna yang merubah jalan hidupnya..........

Dan...

Terlahir ... dengan warna yang kelam........Tetap kelam......

Dan berakhir...............


Hitamnya Masa kecil


Medio 1974....

Lingga terlahir...Ayahnya seorang karyawan swasta asli sunda...

Ibunya anak seorang pelaut keturunan dayak Kalimantan............

Sebuah keluarga kecil dari kalangan ekonomi ke bawah yang bermukim disalah satu sudut kumuh kota di Jakarta. Suatu kebahagiaan terpancar dimata Pak Galih dan Bu Retno melihat anaklaki laki pertama mereka terlahir dengan sehat. Kakek Nenek dan anggota keluarga lainnya juga turut menyambut gembira dengan kelahiran Lingga.

Cerita  duka diawali mulai pada saat keluarga Lingga mengalami masalah rumah tangga yang pasti semua orang tidak akan mau mengalaminya, yaitu “Perceraian”,

Ya...Perceraian...

Sebuah  kalimat yang sangat ditakuti dan paling benci oleh Lingga sampai kini. Keluarga dia mengalami perceraian disaat umurnya baru menginjak 6 tahun. Kekerasan dalam rumah tangga sudah suatu yang biasa  dilihatnya. Lingga kecil begitu takut pada saat  melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ayahnya memukuli ibu  yang sangat dia sayangi.

Sebagai seorang wanita, Ibu Retno mencoba untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Kala itu Lingga memiliki adik perempuan sudah berumur 4 tahun bernama Sekar. Mereka berdua masih kecil dan sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah. Tapi apa lacur, pada saat  kecil justru mereka tak pernah merasakannya.
Ya...mereka tak pernah merasakan kasih sayang....kasih sayang dari seorang Ayah.

Di umur Lingga yang masih 6 tahun, dia sudah harus bisa mengerti  masalah keadaan rumah tangga ke 2 orang tuanya. Di Pengadilan Agama Lingga kecil menyaksikan dan mendengar keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa ke 2 orang tuanya sudah resmi bercerai. Sekar sang adik perempuan  yang masih kecil masih belum bisa mengerti. Masih ingat di dalam pikirannya kata kata yang di ucapkan Ibunya setelah hakim mengetuk palu yang menyatakan Ibu dan Ayah Lingga resmi bercerai.

“Mulai saat ini, kita hidup bertiga...kalian berdualah 2 cinta yang masih ada...masih tersisa...Kita pasti akan mampu melewati ini semua...” ujar sang Ibu sambil berlinangan air mata sambil memeluk tubuh mereka yang mungil dengan erat penuh kasih sayang.

Lingga dan Sekar hanya bisa terdiam. Lingga mencoba mengarahkan penglihatan matanya ke arah ayah yang langsung berjalan meninggalkan pengadilan agama tanpa menoleh sedikitpun ke arah mereka bertiga. Lingga kecil hanya mampu berkata dalam hati...

“Ku tak akan mau menjadi laki laki seperti dia...” aku berkata dalam hati sambil menahan tangis.

Kejadian in amat berdampak pada perekonomian keluarganya. Keluarga Lingga harus bisa bertahan hidup. Dia juga tetap harus sekolah.

Lingga  marah dan berkata dalam hati “Dunia tak adil untuk ku...!”

Untuk menyambung hidup dan menyekolahkan Lingga, Ibunya bekerja di Salon kecantikan khusus penyewaan dan rias pengantin di kawasan Cempaka Putih. Kadang kadang dia menemani sang Ibu bekerja disaat libur sekolah. Jarak dari rumah ke tempat Ibunya bekerja sekitar 8 km dan mereka lalui dengan berjalan kaki untuk menghemat biaya. Jika Ibu dan Lingga berangkat ke tempat kerja, Sekar sang adik dititipkan ke adik Ibunya. Tapi jika Lingga tidak ikut menemani, dia membantu Ibu untuk menjaga dan mengasuh adiknya.

“Mau temani mama ke tempat kerja....?” tanya Ibunya  dengan suaranya yang lembut.

“Mau......naik apa Ma...?” sahut Lingga.

“Jalan kaki saja ya...nanti kalau kamu haus, mama beliin es....bagaimana?mau?” jawab sang Ibu.


Terkadang kaki Lingga sampai pegal dan lecet karena perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke tempat Ibunya bekerja. Lingga masih hingat setiap detik perjalanan bersama sang Bunda dan akan terus tetap  ingatnya hingga nanti kelak dia beranjak dewasa.

Biasanya jika Ibu menerima gaji, dia akan membelikan Lingga dan Sekar oleh oleh untuk menyenangkan hati anak anak tercintanya. Dengan penghasilan yang pas untuk hidup, Ibu Lingga tetap berusaha untuk membahagikan kedua buah hatinya. 

Kekurangan tidak mampu mengurangi kasih sayang sang bunda, sampai sampai dia tidak memperdulikan keadaan dirinya sendiri.

Lingga bangga kepada Ibunya...........dia lah Ibu terbaik di dunia....

Kehidupan  memang sungguh memprihatinkan. Tapi mereka tetap bersyukur atas segala yang kami alami.

Pada saat itu, Kakek dan Nenek Lingga masih ada. Mereka juga kaget atas kejadian yang kami alami. Kakek seorang pensiunan pelayaran. Dia dulu kapten kapal yang bertugas di Singapore. Sang Kakek selalu mengajarkan Lingga untuk tetap bersyukur dan mengaji setiap hari.

Keluarga Ibu Retno adalah keluarga besar. Salah satu adik Bu Retno yang bernama Tante Idar lah yang selama ini sering membantu biaya sekolah Lingga. Kebetulan Tante Idar bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai sekretaris.

Neneknya begitu sayang kepada Lingga dan Sekar. Dia sering mengajak Lingga  untuk menemaninya disaat hadir dalam acara pengajian. Jika Lingga tidak bisa menemani, Nenek selalu membawakannya kacang dan kue untuk diberikan dan dimakan. Dia juga sering menyimpan makanan sisa lebih untuk Lingga dan Sekar.

“Sudah makan kalian?” tanya Nenek.

“Sudah......” jawab Lingga. Walaupun sebenarnya mereka berdua belum makan. Tapi mereka tahan agar jangan sampai Neneknya tahu.

“Udah jangan bohong....ini ada nasi...makan dulu sana...” kata  Sang Nenek.

Dengan lahapnya mereka menyantap makanan tersebut. Lingga mencoba melirik untuk melihat wajak Nenek. Terlihat sang Nenek menangis sedih melihat perihnya kehidupan yang harus dirasakan kedua cucunya, walau terlihat sang Nenek mencoba untuk menahan sedih agar tidak sampai keluar air mata.

“Sayangin Ibu mu ya....Adik mu juga ya....” pinta sang Nenek sambil mengelus kepala Lingga.

Lingga tetap mampu bersekolah dengan bantuan biaya dari Tante Idar adik Bu Retno. Pahit hidup yang alami tidak hanya terjadi dirumah saja. Bahkan disekolahpun aku sering mendapatkan ejekan dari teman teman.

“Eh..lu udah engga punya Bapak ya...? Bapak lu kemana?kawin lagi apa di gondol kucing?....hahahhahaha” ejek beberapa teman sambil tertawa mengganggunya. Dia hanya mampu terdiam menahan malu dan kesal.

“Bapak ku ada....dia dirumah” jawab Lingga menimpali sambil menahan marah.

“Hahahahha...bohong dia....dasar keluarga engga bener....lu sekolah dari ngemis ya...?” ejek temannya terus menerus.

“Bapak ku hanya pergi dinas luar kota....” kilah Lingga menjawab ejekan teman temannya.

“Terus kenapa lu dagang kue? Karena Bapak lu udah pergi kan...hahhaha” lanjut teman teman yang terus mengejek.

Memang selama ini Lingga dan Ibunya sering membuat kue untuk dititipkan di warung warung sekitar sekolahannya. Lingga yag membantu Ibu membeli bahan dasar pembuatan kue dan membantu membuatnya. Tapi dia tidak pernah merasa malu berdagang kue. Malah dia merasa bangga dapat membantu Ibunya.

Lingga hanya bisa pasrah atas ejekan tersebut. Yang pasti kejadian ini begitu membekas begitu dalam  benaknya, terkadang dia pun bertanya mengapa sampai dia bisa mengalami hal ini. Apakah orang lain juga ada yang mengalami hal sama. Adilkah Tuhan kepada keluarganya.Tapi ya sudah lah, mungkin memang ini adalah suatu hal yang harus mereka jalani. Lingga hanya ingin semua kembali lagi seperti dulu.

Kejadian duka kembali terjadi yaitu disaat Kakek dan Neneknya meninggal dunia.Saking terlalu dekatnya, Lingga begitu amat terpukul karena kejadian ini karena mereka berdua yang selama ini sayang dan selalu mengasuh Lingga dan Sekar. Kakek Neneknya sering membantu dan memberi uang ataupun sekedar beras untuk mereka makan. Jika mereka tidak ada, siapa lagi yang akan membantu keluarga Lingga.

“Apakah dunia adil bagi ku...?” Lingga kecil sekali lagi bertanya dalam hati.


Di seberang rumah Lingga, ada salah satu tetangga yang begitu sayang dan perhatian kepada keluarganya. Namanya Tante Ida. Dia anak seorang pegawai Bea Cukai. Tante Ida sering membelikan oleh oleh. Sering dia mengajak Lingga dan Sekar untuk jalan jalan.

“Tante Retno....aku boleh ajak Lingga dan Sekar jalan jalan...? boleh ya Tante...” pinta Tante Ida sambil memeluk Bu Retno.

“Boleh aja....asal tidak merepotkan kamu...” jawab Bu Retno sambil memberi tanda kepada anaknya untuk tidak nakal.

“Asyik....jadi aku kan ada yang nemenin....Lingga...Sekar...ayu kita jalan jalan...” kata Tante Ida sambil tersenyum.

Mereka pun bergegas untuk mengganti pakaian. Bagi Lingga 7 Sekar, jalan jalan piknik merupakan suatu barang yang sangat mahal karena mereka tidak memilki uang untuk bisa seperti ini. Beruntung ada Tante Ida.

“Ingat...jangan nakal...jangan bikin malu Mama...” Bu Retno berkata sambil memakaikan baju.

“Biar kita orang susah....tapi kita jangan bikin ornag lain susah.....Tidak enak jika jadi orang susah...paham kalian...?” tanya Bu Retno kepada Lingga & Sekar.

“Iya Ma...aku paham....Aku akan membahagiakan Mama jika aku besar...” jawab Lingga sambil memeluk tubuh Ibunya yang semakin ringkih akibat penyakit ginjalnya.

“Aku janji....Aku aku membahagiakan Mama....” lanjut Lingga sambil berbisik ke telinga Ibunya.

“Maafkan Mama ya....” jawab Bu Retno dengan nada sedih sambil memeluk erat tubuh kedua anaknya tersebut.

Mereka  berdua bergegas masuk ke dalam mobil Tante Ida yang sudah menunggu didalam.

“Ma....Lingga ama Sekar pergi dulu ya.....dah Mama...” kata ku sambil melambaikan tangan kearah Ibu.

“Jangan nakal....Jagain anak anak ya Da...” jawab Ibu.

“Ok Tante Retno...tenang aja.....” sahut Tante Ida.

Lingga lihat mata Ibunya, terlihat jelas raut muka bahagia dibalut dengan rasa sedih saat melambaikan tangan. Sebenarnya Lingga tidak tega meninggalkan Ibunya sendiri di rumah.

Setibanya dirumah sehabis jalan jalan, Lingga mendapatkan Ibunya sedang menangis didalam kamar.

“Ma...ada oleh oleh nih dari Tante Ida...dibeliin martabak....” Lingga berkata. Dia mendengar suara tangis yang ditahan dan mencari kemana Ibu ku berada.

Betapa kagetnya Lingga melihat Ibunya tertunduk duduk lemas di sudut dekat lemari baju. Di hampiri  Ibunya...

“Ada apa Ma....?” tanya sambil sambil menangis dan mengusap wajah Ibu.

Sungguh betapa kagetnya aku melihat wajah Ibunya yang lebam.

“Ma...ada apa???!!!” Lingga bertanya sambil teriak.

“Tadi Ayah kalian datang...” jawab sang Ibu sambil menangis.

“Terus...?” Lingga bertanya lagi.

“Ayah mu marah karena tidak bisa bertemu kalian...” sahut Bu Retno yang sambil menggigil merasa takut akibat kejadian ini.

“Terus Mama di pukul sama Bapak...?” tanya Lingga sekali lagi.

Bu Retno tetap tidak menjawab pertanyaan Lingga. Sambil memeluk erat tubuh kedua anaknya, Bu Retno berkata...

“Dia tetap ayah kalian....Ayah kalian engga salah.... Mama yang salah....” Bu Retno berkata sambil menangis.

Sebelumnya, Lingga & Sekar merasa begitu bahagia bisa jalan jalan. Tapi itu semua sirna seperti tidak memiliki arti apa apa, setelah melihat wajah sang Ibu  yang lebam.

“Masih adakah penderitaan yang akan kami alami atau apakah sudah cukup?” tanya Lingga dalam hati.

Tak jauh dari rumahnya, ada pedang rokok.Para warga biasa memanggilnya Babeh, Istri Babeh berdagang gado gado didepan warung rokoknya. Dia sangat ramah dan baik kepada semua anak anak dilingkungan warga. Lingga sering membeli jajanan dan gado gado di warung Babeh.

Suatu waktu Babeh memanggil Lingga...

“Lingga...kemari lu sini...” panggil Babeh.

“Ada apa Beh....” tanya Lingga.

“Lu mau sunat kaga...?” tanya Babeh kepada Lingga.

“Apaan?Sunat? ya belum lah...” jawab Lingga.

“Kalo lu sunat...nanti dapat uang, peci, kain, baju baru dan sepeda...lu mau kaga...?” kata Babeh dengan logat betawinya.

“Yang bener...?mau deh Beh...” jawab Lingga kegirangan.

“Kalau lu mau..siap siap deh minggu depan ye...” lanjut Babeh.

Seminggu kemudian Babeh memberikan surat kepada Lingga. Babeh menyuruh Lingga menyerahkan surat tersebut kepada Ibunya. Setelah menerima surat tersebut, Lingga lalu menyerahkan surat ini kepada Ibunya.

“Surat dari siapa Ga...?” tanya sang Ibu.

“Dari Babeh...” jawab Lingga dengan santainya.

“Apaan isinya...?” tanya sang Bunda lagi.

“Baca aja...Lingga belum bisa baca Ma...” jawab Lingga.

Ibu Lingga pun membaca surat tersebut. Ternyata isi surat itu menyatakan bahwa Lingga terdaftar menjadi peserta acara Sunatan Massal yang diadakan kelurahan setempat. Disurat itu disebutkan bahwa acara khitanan massal itu diadakan di gedung kelurahan pada hari minggu tanggal 12 Juni.

Bu Retno begitu terkejut membaca isi surat tersebut...

“Lingga..siapa yang daftarin kamu ikut acara ini....?” tanya sang Bunda.

“Babeh kali...katany kalo aku ikut akan dapat uang, baju dan sepeda baru...” timpal Lingga dengan polos.

“Aduh...gimana sih...bikin malu Ibu saja kamu...biar Ibu bicara dulu dengan Babeh” jawab sang Bunda sambil bergegas ke warungnya Babeh.


Sesampainya diwarung, Bu Retnopun mengkonfirmasi masalah ini ke Babeh...

“Beh..beneran si Lingga didaftarin ikut acara Sunatan massal...?” tanya Bu Retno.

“Iya...kasian tuh anak lu...minta sunat...lagian kan emang udah waktunya...mumpung gratis...” sahut Babeh dengan entengnya.

“Tapi kan bisa malu keluarga nantinya...” jawab Bu Retno.

“Ngapain malu...banyak orang kaya yang ikut juga kok...” jawab si Babeh.

Akhirnya pada hari minggu, Lingga dan Ibunya, juga disertai para tetangga pergi mengantar Lingga ke acara tersebut. Memang benar kata Babeh, banyak sekali orang kaya yang naik mobil yang ikut dalam acar sunatan massal ini. Tadinya Bu Retno merasa risih dan malu.

Acara sunatan massal selesai. Mereka semua bergegas kembali pulang. Sesampainya dirumah, babeh sudah menunggu didepan pintu sambil membawa sepeda baru untuk Lingga.

“Nih..Babeh beliin sepeda baru untuk lu..” kata Babeh ke Lingga yang disambut dengan gembira.

“Asyikkk...” teriak Lingga melihat sepeda mini barunya.

“Gue kasian ngeliat keluarga lu...mending gue daftarin si Lingga di acara sunatan massal...daripada nanti dia kaga sunat...kan perlu biaya tuh” kata Babeh ke Bu Retno.

“Besok kita adain selamet kecil kecilan aja...gue bikinin ayam bekakak deh buat si Lingga...” lanjut si Babeh.

“Terima kasih ya Beh...” kata Bu Retno.

“Iye...Lingga, sekarang lu udah disunat...besok acara selamatannya ye...” kata babeh sambil mengusap kepala Lingga.

“Coba liat...Babeh mau sentil sedikit...” kata Babeh menggoda Lingga.

“Jiahhh...jangan dong Beh...” Kata Lingga sambil memegang sarungnya erat erat dan disambut dengan tawa semua orang.

Keesokan harinya diadakan acra selamatan kecil kecilan yang sangat sederhana. Lingga dan keluarga merasa terharu atas bantuan dan perhatian para tetangga kepada keluarganya. Diiringi dengan doa dan pengajian. Acara dilanjutkan dengan acara makan makan. Babeh menyediakan 7 ekor ayam Bekak. 1 ekor khusus dibuat untuk Lingga. Sisanya dibagikan kepada para tamu yang datang.

Lingga menerima amplop berisi uang dari para tetangga yang datang...

“Tuh kan apa Babeh bilang...lu bakal dapet duit kalo disunat...” bisik Babeh ketelinga Lingga. Lingga membalasnya dengan senyum gembira.

Baru kali ini Lingga merasa bahagia. Hari ini mereka sejenak bisa melupakan masalah yang menimpa keluarga mereka. Ibu Retno pun terlihat senang.

“Ma...uangnya disimpan buat beli baju sekolah yang baru ya...” kata Lingga dan dibalas anggukan kepala dari sang Bunda.

Suasana dilingkungan temapat tinggal Lingga begitu ramai dan tentram. Suasana kebersamaan dan hubungan baik atar tetangga begitu terasa kental disini. Apalagi jika bulan puasa tiba. Banyak sekali tetangga yang berdagang makanan seperti kolak, asinan, gorangan, mie goreng, cindil dan lain lain.

Apalagi setelah selesai Sholat Tarawih, suasana malam makin terasa ramai dengan tabuhan bedug yang dimainkan anak anak kecil dan permainan lotre. Lingga kecil sesekali mencoba bermain untuk mencari keberuntungan. Para Bapak bapak juga banyak yang menghabiskan waktu malamnya sambil menunggu waktu sahur dengan bermain kartu.

Kebetulan sang bandar lotre adalah keponakan dari Bu Retno. Namanya Erwin, anak laki laki yang ke 3 dari kakak nomor 1 Bu Retno.

“Ga...tadi main ya...?” tanya Erwin. “Lain kali engga usah main...” lanjutnya.

“Iya..mau nyobain aja...” jawab Lingga sambil tersenyum.

“Mending uangnya disimpan...ini pegang....Kak erwin tadi menang....” kata Erwin sambil memberikan uang ribuan 5 lembar.

“Asyik.....” jawab Lingga kegirangan.

Dilingkungan rumahnya, Lingga memiliki sahabat yang selalu menjadi teman bermain. Mereka adalah Yadi yang asli betawi dan Jojo yang asli Medan. Jojo jago bermain gitar dan bernyanyi, sedangkan Yadi jago dalam melawak. Mereka bertiga selalu bersama sama.Jojo beragama nasrani, meski begitu mereka berbeda agama tapi hidup tentram dalam pertemanan.

Karena Jojo jago bermain gitar, mereka pernah mencoba memberanikan diri untuk mengamen. Untuk mencari uang jajan, syukur syukur bisa bayaran sekolah mereka mencoba untuk mengamen.

“Ga...Yad...mau ngamen kaga lu...?” tanya Jojo.

“Waduhhhh....ngamen di bis ya...?” jawab Yadi dengan muka mesem.

“Iya...nanti kalo dapat uang...kan lumayan buat jajan...syukur2 buat bayaran sekolah....asyikkan...?” lanjut Jojo dengan sedikit merayu.

“Ah...lu lu pada kaya tahu rute bis aja...yang ada malah kita nyasar....” tambah Lingga.

“Iya,....nyasar....” tambah Yadi dengan muka serius.

“Jiah...takut nyasar...kita ambil rute yang deket aja....gue juga takut nyasar...” jawab Jojo meringis sambil menerima jitakan di kepalanya oleh Yadi.

“Gue butuh uang nih buat bayaran sekolah...” kata Jojo dengan muka sedih.

“Sama....gue jg belum bayaran.....” jawab Lingga dan yadi serempak.

“Kalo jatuh di bis gimana....?” tanya yadi dengan muka lugunya.

“Ya kalo jatuh...kebawah kaleeeeee....” sahut Lingga dan Jojo sambil tertawa.

“Paling paling malu kita.....lebih malu lagi kalo kaga ada yang ngasih uang...mokal...” balas Jojo.

Mereka tertawa bersama sama membayangkan jika nanti mereka jadi mengamen. Tak terbayangkan oleh mereka bagaimana nanti akhirnya. Dibenak mereka hanya mencoba mencari hiburan, sedikit uang dan mencari pengalaman.
Keesokan hari mereka bersiap siap untuk mengamen. Jojo bermain gitar, Yadi kebagian untuk meminta uang dan Lingga bagian memilih bis mana yang akan dinaiki. Berjam jam mereka sudah naik turun bis.

“Lu yakin nih naik bis ini....” tanya yadi kepada Lingga.

“Ya udah naik aja......paling paling kan nyasar...” jawab Lingga sambil tertawa.

“Ya udah ayo....” lanjut Jojo.

Mereka pun naik bis yang dituju. Mereka pun mulai bernyanyi. Tanpa mereka sadari, para penumpang sudah mulai banyak yang turun hingga tersisa hanya sedikit saja. Mereka asyik meloanjutkan nyanyian. Sampai akhirnya tidak ada satupun penumpang yang tersisa di bis. Pada akhirnya mereka sadar bahwa bis yang mereka tumpangi sudah sampai masuk terminal.

“Hahahahahaha...brengsek....” kata Jojo sambil tertawa.

“Goblok...pantesan pada turun  tuh penumpang...lah udah sampai terminal...” tambah Yadi.

“Hihihihihiihi....malu maluin aja...” sahut Lingga sambil tersenyum.

Mereka memutuskan untuk pulang. Cukup sudah mengamen hari ini walau hasil yang didapat hanya sedikit. Jojo mulai menghitung uang yang didapat. Ternyata uang yang didapat belumlah cukup untuk membayar uang sekolah.

“Kita pulang...tapi sekalian naik bis sambil ngamen..siapa tahu yang terakhir malah ada yang ngasih gede...” kata Jojo dengan semangat.

“Ok...” jawab Lingga dan Yadi.

Mereka pun lantas naik bis menuju pulang. Didalam bis mereka mencoba untuk mengamen lagi berharap ada seseorang yang memberi uang dan tentunya gratisan ongkos. Mereka pun mulai bernyanayi. Selesai mereka bernyanyi, Yadi segera membuka kantung permen untuk meminta uang kepada para penumpang. Di ujung bangku dekat supir terdapat seorang Ibu  berumur sekitar 40an.

“Kalian masih kecil kecil kok ngamen...?” tanya si Ibu tersebut.

“Buat bayar uang SPP Bu...” jawab Jojo tanpa rasa malu.

“Suara kalian bagus lho....” jawab si Ibu sambil memberikan uang recehan

“Ini buat bayaran sekolahnya ya,....” lanjut si Ibu sambil mengambil dompet dan memberikan uang Rp 20.000 kepada mereka.

Betapa senangnya hati Lingga, Jojo dan Yadi. Akhirnya mereka mendapatkan uang yang cukup untuk makan dan bayar sekolah. Mengamen merupakan pengaman pertama bagu Lingga mendapatkan uang. Pekerjaan ini sengaja disembunyikan oleh Lingga agar sang Ibu jangan samapai tahu. Lingga takut Ibunya malu punya anak pengamen. Lingga takut sang Ibu marah. Lingga tidak mau membuat sang Ibu marah dan kecewa.

Sering kali Lingga & Yadi membantu menemani Jojo menyanyi di beberapa gereja yang berada disekitar rumah mereka. Beberapa kali mereka di undang untuk acara kebaktian di gereja. Ini semua mereka lakukan agar bisa membantu Jojo membayar uang sekolahnya. Perbedaan agama tidak mampu memisahkan persahabatan diantara mereka bertiga.

“Di....Ga...minggu nanti bisa nemenin gue nyanyi di gereka...lumayan nih bayarannya...” ajak Jojo.

“Gimana Ga...?lu bisa kaga?” tanya yadi ke Lingga.

“Ya udah...gue sih mau aja...” jawab Lingga. “Tapi Jo...lagunya yang netral ya...lu paham kan maksud gue...” lanjut Lingga sambil bertanya ke Jojo.

“Iya...gue paham...nanti gue pilihan lagunya...terus kita latihan besok...” jawab Jojo sambil menganggukan kepalanya.

Ke esokan harinya sepulang sekolah, mereka bertiga latihan nyanyi dirumah Jojo yang berada tak jauh dari rumah Lingga & Yadi. Selama 4 hari mereka berlatih untuk mempersiakan penampilan mereka nanti di gereja. Sampai akhirnya waktunyapun tiba. Dengan didampingi oleh keluarga Jojo, mereka tampil bernyanyi didepan ratusan orang yang hadir. Setelah acara kebaktian usai, salah seorang pendeta digereja tersebut memanggil mereka bertiga.

“Terima kasih kalian mau hadir....suara kalian bagus meski kalian masih kecil....” kata sang pendeta itu.

“Sebagai bentuk penghargaan, terimalah sedikit uang dari saya...”lanjut sang pendeta sambil menyerahkan sebuah amplop. Pendeta itupun mengalungkan kain berwarna kuning ke leher Jojo, lalu dia mengalungkan kain tersebut ke leher Lingga & Yadi.

“Maaf Pak Pendeta, kami berdua beragama Muslim...kami disini bernyanyi untuk membantu teman kami Jojo...” Lingga berkata sambil merangkul Jojo.

“Oh...begitu ya...maaf...” pak pendeta itu berkata. “tapi kalian bisa hidup rukun dan mau membantu teman walau berbeda agama ya...saya sangat bangga dengan persahabtan kalian...” lanjut sang pendeta itu.

“Iya Pak...persahabatn tak mengenal perbedaan agama....” imbuh Yadi sambil tersenyum.

“Betul...betul sekali...klaian pintar pintar ya...” kata pendeta tersebut. “Jika ada acara lagi, kalian mau saya undang untuk bernyanyi lagi...?” tanya pendeta itu.

“Pasti Pak...kami akan mau bernyanyi....” balas Jojo.

“Mereka berdua pasti mau membantu saya....” lanjut Jojo sambil merangkul ke dua temannya tersebut.

Dengan senangnya mereka bertiga membuka amplop berisi uang yang diberikan pendeta itu. Ini adalah uang dari hasil jerih payah mereka. Ibunda Jojo hanya tersenyum melihat kelakuan lucu mereka bertiga.

“Ga...Di...thanks lu udah mau bantu gue...” kata Jojo.

“Sama sama...kan kita sahabat...harus saling tolong menolong lah...” timpal Lingga.

“Iya Jo...kita kan teman...pasti kita berdua akan bantu lu...” tambah Yadi.

“Ini bagian lu berdua...kita bagi rata aja...” Jojo berkata sambil menyerahkan uang kepada Lingga & Yadi.

“Ah...kaga usah...buat lu aja..buat bayaran sekolah lu aja Jo...” kata Lingga sambil menepis uang tersebut.

“Iya buat lu aja...kita ikhlas kok...” Yadi menimpali.

“Lu berdua memang sahabat terbaik gue...sahabat sejati gue....” jawab Jojo sambil terharu.


Sementara itu,hari hari Lingga dan keluarga lewati dengan segala kekurangan. Kabar berita dari sang Ayah tidak kunjung datang. Jangankan untuk menengok keluarganya, mengirim suratpun tidak.

Setelah lulus SD dengan hasil yang memuaskan, Lingga melanjutkan ke SMP. Tante Idar masih mau membantu biaya sekolah ku. Dia sangat beruntung hingga bisa meneruskan sekolah. Adiknya Sekar juga tetap bisa sekolah.

“Ga...kamu engga usah pusing soal biaya sekolah...Tante akan membiayainya ya...” Tante Idar berkata sambil melihat raport Lingga.

“Tante cuma bisa bantu biayanya.....yang penting kamu masih bisa sekolah...” lanjut Tante Idar.

Hari pertama masuk sekolah SMP, Lingga masuk kelas 1.1. Dikelas iniloah tempat berkumpulnya anak murid yang memilki nilai tertinggi dalam  EBTANAS. Semua mata pelajaran dapat Lingga kuasai.

Di SMP Lingga memilki guru favorit yang bernama Bu Kartini. Dia guru PMP. Bu Kartini begitu sayang terhadap Lingga karena Lingga memiliki kepintaran yang lebih dibandingkan teman temannya. Bu Kartini selalu memanggil satu satu muridnya untuk mengambil hasil ulangan.

Jika anak yang lain tidak terlalu dipermasalhkan hasil ulangannya oleh Bu Kartini. Lain lagi dengan Lingga. Bu Kartini sellau berharap Lingga mendapatkan hasil ulangan yang sempurna.

“Lingga....kemari kamu...” panggil Bu Kartini. Linggapun bergegas maju kedepan meja guru.

“Ini hasil ulangannya...” lanjut Bu Kartini. Di kertas ulangan tertera angka 8.

“Bagus dong Bu ya hasilnya....” Lingga berkata sambil tersenyum.

“Iya...tapi harusnya 10..jadi kurang 2...karena kurang 2.jadi kamu Ibu cunit 2 kali...’ kata Bu Kartini sambil mengarahkan tangannya ke pinggang Lingga sambil mencubitnya.

Lingga tidak marah. Dia malah senang karena Bu Kartini perhatian dan sayang kepadanya.

Bersama teman teman kelas lain, Lingga mulai bergaul dan memiliki teman yang lebih banyak lagi. Disini Lingga mulai kenal dan mencoba “Rokok”. Sering Lingga jika sehabis pulang sekolah merokok bersama teman temannya sambil nongkrong di jembatan masjid tak jauh dari sekolahannya.

Diawal masa menjelang remaja, Lingga sudah mulai mencoba berbuat sesuatu diluar kebiasannya selama ini. Lingga mulai mencuri, walau hanya mencuri jambu tetangga.

“Wuih..tuh pohon jambu boleh juga.....’ kata Lingga kepada teman temannya.

“Sikat.........!” teriak mereka kompak sambil berlari kencang mengambil ancang ancang.

“Kita ngerujak.......” lanjut mereka.

“Panen......euy....” teriak mereka yang membuat sang pemilik pohon terbangun.

“Woi....bocah gendeng!!!!Bocah edannn!!!” teriak sang pemilik pohon sambil membawa pentungan.

“Jangan kabur lu...!” lanjutnya lagi dengan mata melotot.

Lingga dan teman temannya pun kabur lari tunggang langgang menghindar dari orang pemilik pohon jambu tersebut. Keusilan Lingga dan kawan kawan tidak sampai disitu. Lingga memiliki teman bernama Ipaw. Ipaw anak seorang nelayan. Ipaw memiliki mulut yang sangat lebar (lebih lebar dari daun kelor).

“Paw....mau makan kaga lu..” tanya Lingga.

“Mau dong....gue ada duit nih 200 perak...” jawab Ipaw sambil menunjukan uangnya ke Lingga.

“Mana cukup....gila lu ya,....” sahut Lingga dengan muka heran.

“Tenang aj...cukup ko....lu liatin aja ya...” sahut Ipaw dengan entengnya.

Lingga, Ipaw bersama dengan teman teman yang lainnya pun bergegas menuju kantin sekolah. Mereka begitu terkejut melihat apa yang diperbuat Ipaw. Dengan mulutnya yang lebar, Ipaw memasukan 1 pisang gorang berukuran besar langsung kedalam mulutnya. Belum selesai semua dikunyah, Ipaw sudah memasukan lagi 1 pisang goreng dengan ukuran yang sama. Ini terus menerus dilakukannya.

“Huam......huam” suara Ipaw mengunyah.

“Lu..mau bisa kaga seperti gue...?” tanya Ipaw kepada Lingga dan teman teman dengan mulut penuh dengan pisang goreng.

‘Kaga berani lu pada ya....?” lanjutnya lagi.

Lingga dan teman teman begitu terheran heran lucu melihat tingkah polah Ipaw. Mulut dan pipinya terlihat menjendul penuh karena pisang itu. Dia mengunyah dengan cepat seperti mesin buldoser. 6 pisang gorang sudah habis masuk kedalam mulut Ipaw dalam hitungan menit.


“Bu...mau bayar nih...” kata Ipaw.

“Makan berapa biji...?” tanya Ibu pemilik warung.

 “Makan 1....” jawab Ipaw dengan entengnya.

“Masa sih.....jangan bohong...” tanya Ibu warung dengan curiga.

“Jiah..beneran Bu..nih teman teman saya saksinya..” jawab Ipaw.

Lingga dan teman teman lainnya hanya bengong tak bisa berkata apa apa sambil menawan tawa melihat tingkah Ipaw.

“100 perak...” kata Ibu pemilik warung dengan wajah masih penuh curiga.

Mungkin dalam hatinya bertanya “kok cuma makan satu tapi mulutnya cemong begitu”.

“Nih Bu.....” jawab Ipaw sambil menyerahkan uang dan bergegas pergi meninggalkan warung.

Semua hanya bisa tertawa terbahak bahak setelah keluar warung.

“Gimana...cukup kan uang gue...’ kata Ipaw dengan muka sombongnya.

“Brengsek lu...” Lingga dan teman teman berkata sambil menjenggut rambut Ipaw.

‘Wadaw......!” Ipaw berteriak menahan sakit sambil tertawa.


Terkadang dia sering menginap dirumah salah satu temannya. Lingga memiliki sahabat bernama Ardi. Mereka berdua sama sama memilki keluarga yang mengalami perceraian.Mereka berkumpul bermain gitar sambil merokok menghabiskan waktu malam minggu.Walau demikian, Lingga tidak lupa akan kewajibannya untuk belajar.




Suatu saat Pak Galih, ayah Lingga datang kerumah dengan membawa rambutan dan durian. Lingga dan Sekar disuruh Ibu untuk bersembunyi didalam WC agar ayahnya tak bisa menemui mereka. Dari dalam WC mereka mendengar keributan yang terjadi dalam rumah. Tangisan Ibu kembali terulang. Keributan itu terjadi lagi. Lingga bergegas keluar dari dalam WC.

“Eh Ayah...datang.......”  Lingga mencoba menyapa ayahnya walau sebenarnya dia tak kuat mendengar tangisan Ibu.

“Kamu baik baik saja...Ga?mana Sekar....?” tanya Pak Galih dengan nafas terengah engah.

“ Itu Sekar.....” jawab Lingga.

Dipeluknya tubuh Lingga & Sekar.
Dan tiba tiba....

“Pergi....! aku masih mampu membelikan apa yang kamu bawa.....” Bu Retno teriak.

“Kamu lah yang kami butuhkan.....bukan barang barang itu...” lanjut Bu Retno.

“Enak enakny kamu tinggal bersama perempuan laknat itu...!!” Bu Retno berteriak kencang.

Pak Galih tak menjawab setiap perkataan yang dilontarkan Bu Retno. Dia hanya terdiam dan memandang wajah anak anaknya.

Bagaimanapun bencinya Lingga terhadap Ayahnya, tapi Lingga tetap membutuhkan dia. Lingga dan keluarganya  membutuhkan kehadiran sang Ayah di kehidupan sehari hari. Bukan hanya sekedar menengok dan membawakan sesuatu. Lingga merasa ada yang hilang di kehidupan keluarganya. Yang hilang adalah “Cinta”....

“Ayah pulang....ya....jaga diri kamu baik baik...jangan lupa jaga adik mu Sekar” Pak Galih berkata sambil menciumi ke dua anaknya.

“Pergi....!” teriak Bu Retno yang semakin kesal.

Pak Galih hanya tertunduk dan diapun bergegas pergi. Dilempar semua barang bawaan ke arah Pak Galih oleh Bu Retno.

“Kmi tak membutuhkan ini semua....!’ sambung Bu Retno sambil menangis histeris dan memeluk anak anaknya.

Memang benar apa yang dikatakan Bu Retno, mereka tidak butuh itu. Mereka membutuhkan kehadiran Pak Galih.Kejadian lain yang juga membekas di otak dan fikiran Lingga. Kejadian yang benar benar membuat mental dan jiwanya amat terguncang & terpuruk. Semua harus  lihat dan alami pada saat dia sejak masih kecil.


Waktu terus berlanjut. Kehidupan yang keras jalani setiap hari. Kondisi Bu Retno yang semakin kurang sehat, semakin menambah penderitaan mereka. Jika Ibunya sakit, siapa yang akan bekerja dan mendapatkan uang untuk kehidupan mereka. Semua mereka jalani dengan penuh keprihatinan. Tapi mereka memiliki sesuatu yang amat berharga dan selalu mereka jaga, yaitu Kebersamaan dan Cinta. Tapi apakah dengan itu semua bisa mampu membuat mereka bertahan hidup. Rasanya itu semua tak akan cukup.

Waktu berjalan 1 tahun lewat. Pada saat itu, Pak Galih memutuskan untuk rujuk kembali dengan Bu Retno. Begitu bahagianya Lingga. Akhirnya keluarganya kembali bersama sama lagi. Kebahagiaan mulai terpancar dan menyinari keluarga mereka

Kehidupan kembali membaik sekembalinya Pak Galih bersama keluarganya. Semua terlihat kembali sempurna. Hingga akhirnya Bu Retno hamil anak yang  yang ke 3. Adik Lingga laki laki yang ke 2 terlahir bernama  Bagus. Begitu senangnya mereka menyambut anggota keluarga baru dikehidupannya. Pak Galih begitu senang.

“Ya Allah...Kau kembalikan ayah kami...Kau  Maha Pemberi....” doa Lingga atas kecintaan Allah terhadap keluarganya.

“Ku Yakin Allah sayang kepada keluarga kami” seru Lingga dalam hati.

Dengan kehadiran adik bungsunya, Lingga berharap semua akan tetap seperti ini terus  dan kejadian dulu tidak akan terulang lagi. Dia selalu berdoa agar semua ini tetap terjaga. Kondisi ini masih tetap terjaga hingga akhirnya berubah kembali seperti dahulu.

Dua tahun kemudian,secara tiba tiba Pak Galih merencanakan agar Lingga dan Sekar bekerja saja di pabrik milik temannya.

“Ma...Lingga dan Sekar lebih baik bekerja saja...!” kata Pak Galih dengan sedikit keras.

“Anak anak masih pada kecil Pak...lagian kita kan masih bisa menghidupi mereka....” jawab Bu retno dengan muka heran.

“Iya...tapi jika mereka bekerja akan lebih membantu....” sahut Pak Galih.

“Tapi mereka masih kecil Pak...kamu engga kasihan sama mereka...?” tanya Bu Retno.

“Udah lah....besok hari minggu kita berangkat....!” seru Pak Galih.

“Apa tidak tanya mereka dulu mau apa engga....” sahut Bu Retno.

“Engga usah lah....!” jawab pak Galih dengan ketus.

“Suruh aja anak anak siap...” lanjutnya lagi.


Malam sebelum tidur, Bu Retno bercerita kepada ke dua anaknya perihal rencana Pak galih yang menginginkan mereka untuk bekerja di pabrik.

“Kenapa harus kerja sih Ma...? jauh lagi tempatnya....” tanya Lingga ke Ibunya.

“Ibu tahu...Ibu juga engga setuju...tapi ayah mau seperti itu....” jawab Bu Retno sedih.

“Kenapa ya Ayah begitu...” sahut sekar dengan lugunya.

“Begini saja...kita berangkat saja dulu...jika kalian engga mau...biar nanti Ibu bilang ke Ayah...” jawab Bu Retno mencoba menenangkan sambil memeluk Lingga & Sekar.

Mereka semua menuruti semua perintah Pak Galih. Pada hari Minggu, mereka semua bergegas pergi menuju pabrik di Sukabumi. Dengan menggunakan bis mereka berangkat.

Sesampainya disana, P Galih & keluarganya disambut oleh Pak Soni pemilik pabrik rotan di Sukabumi. Pak Galih memperkenalkan keluarganya satu persatu. Pak Soni mempersilahkan untuk berkeliling melihat lihat pabriknya.

“Ini Lingga & Sekar anak saya...” kata Pak Galih ke Pak Soni.

“Oh ini yah yang mau kerja....” sahut Pak Soni dengan tersenyum.

“Kirain saya sudah pada besar....” lanjutnya lagi dengan muka heran.

“Iya Pak.....” jawab Pak Galih.

Bu Retno, Lingga & Sekar hanya bisa terdiam.

“Ya sudah...kalau mau..disana kamar tidurnya...” lanjut Pak Soni sambil menunjuk ruang dibelakan dekat gudang.

Mereka pun berjalan menghampiri ruang tersebut. Terlihat jelas wajah takut dari Lingga dan Sekar yang masih kecil. Dalam hati mereka bertanya tanya, mengapa mereka yang masih kecil harus disuruh bekerja. Apalagi tempatnya jauh dari rumah. Ditambah lagi anjing herder penjaganya yang galak dan melonglong terus ke arah mereka.

“Ma...aku takut...” Sekar berkata sambil memeluk erat tubuh Ibunya.

“Aku juga.....” timpal Lingga.

Tangis Sekarpun akhirnya keluar. Sekar begitu takut dan tak ingin lepas dari tubuh Bu Retno. Terlihat jelas muka marah dari Pak Galih saat melihat Sekar menangis.

“Jangan nangis...!” seru pak galih sambil menatap wajah Sekar yang masih kecil.

“Jangan bikin malu Ayah....!” imbuhnya lagi.

“Pak...anak anak engga mau bekerja disini....mereka takut....” kata Bu Retno sambil memeluk anaknya.

“Harus mau....!” seru Pak Galih.

“Tidak....jika kamu memaksa agar mereka tetap bekerja hanya karena kita kekurangan biaya...biar nanti aku bekerja lagi...” jawab Bu Retno.

Setelah berpamitan dengan Pak Soni, merekapun bergegas pergi. Keributan berlanjut antara Bu Retno dan Pak Galih selama perjalanan. Lingga dan Sekar hanya bisa memejamkan mata sambil memeluk erat erat tubuh Ibunya.

Lingga bertanya dalam hati ...

“Mengapa Ayah mau menyuruh kami kerja di tempat yang jauh?”.


Insting dan otaknya berfikir keras untuk menebak nebak ada apa dibalik semua ini...

 “Mengapa Ayah tega memperlakukan kami seperti ini?” lanjut Lingga bertanya dalam hati.

Semua akhirnya terjawab seiring bergulirnya waktu. Ternyata Pak Galih mempunyai rencana dan alasan mengapa dia menyuruh Lingga dan Sekar kerja di pabrik. Ternyata Pak Galih memiliki keinginan untuk menikah lagi. Dengan anak anak jauh dari Bu Retno, maka akan mempermudah rencana Pak Galih untuk menikah lagi. Pak Galih berharap agar Lingga dan Sekar tidak tahu rencananya, makanya dia merencanakan agar anak anaknya berada jauh dari keluarga.

Meski ditentang oleh Bu Retno sambil mengingatkan keberadaan anak anak mereka, Pak Galih tetap memilih menikah kembali dengan wanita lain. Sudah 2 kali akhirnya keluarga Lingga pecah karena perceraian. Jiwa dan kehidupan keluarganya kembali terguncang karena peristiwa ini. Kondisi ekonomi mereka kembali terpuruk.

“Siapkan diri kalian....Ayah kalian menikah lagi...” kata Bu Retno kepada anak anaknya.

“Kita pasti mampu hidup....jangan sedih...” lanjut Bu Retno sambil menggendong Bagus anak bungsunya.

Marah, kesal dan kecawa berkecamuk dalam dada Lingga. Lingga begitu syok dan terkejut.

Untuk yang ke 2 kali dia merasa “Dunia tak adil pada ku”

“Apakah kami mampu....?” tanya Lingga dalam hati sambil menatap Ibu dan adik adiknya. Terlebih lagi dengan kehadiran Bagus adik bungsunya yang baru berusia 3 tahun.

“Bagaimana Ibu bisa bekerja...?” lanjut Lingga dalam hati.

Untuk membantu keluarga, Lingga pun memutuskan untuk bekerja. Apapun  lakukannya untuk menghasilkan uang. Mulai dari pengamen, menjadi kenek angkutan kota sampai menjambret.

Ya...menjambret...

Sepulang sekolah Lingga mengamen dan sorenya dia menjadi kenek angkot. Semua dilakukan demi Ibu dan adik adiknya. Terkadang Lingga melakukan tindak kriminal. Sebenarnya dia tidak mau melakukan hal ini, akan tetapi semua terpaksa harus  dilakukan demi mendapatkan uang untuk keluarganya.


Suatu hari Lingga dan temannya mencoba untuk menjambret. Dengan menggunakan motor mereka berkeliling untuk mencari korban. Sekitar terminal bis ada seorang ibu yang sedang berjalan sambil membawa tas besar. Mereka melihat Ibu itu menggunakan kalung emas yang besar dileher.

“Ga...ada Ibu Ibu tuh.....siap siap....” hardik temannya seraya menyuruh untuk siap siap beraksi.

“Siap Ga.....jangan gagal.....” lanjut temannya.

Dalam hitungan menit mereka berhasil merampas emas tersebut dari ibu itu. Dengan menggunakan motor, mereka memacu secepat cepatnya untuk melarikan diri. Dengan tangan gemetar Lingga memegang emas itu. Apakah benar perbuatannya? Apakah dosa? Bagaimana jika  tertangkap? bagaimana dengan keluarga ku yang lapar?. Pertanyaan itu terus berkecamuk didalam hatinya.

Detak jantung Lingga terus berdegup kencang. Ini pertama kalinya dia melakukan tindak kejahatan, Tindakan yang mungkin tidak perlu  lakukan jika kelurganya baik baik saja.

“Mana emasnya...?” tanya teman Lingga.

“Ini......” jawabnya sambil menyerahkan emas tersebut.

“Mantap...kakap...berat juga nih emasnya...mahal nih pasti....lumayan...” ujar teman Lingga sambil tertawa senang.

Lingga hanya bisa tersenyum kecil. Tak pernah dia pernah menduga akan melakukan hal ini.

“Besok kita jual..hasilnya kita bagi 2...oke?’ temannya berkata sambil menimbang nimbang emas tersebut di tangan.

“Ya sudah...jual aja....” sahut Lingga sambil menundukan kepala.

Lingga membayangkan jika itu terjadi kepada Ibunya sendiri. Tak kuasa dia membayangkan jika hal itu benar benar menimpa Ibunya.Perbuatan ini kembali terus menerus  dilakukan, Apalagi uang yang dihasilkan cukup lumayan besar dan bisa menghidupi keluarganya. Lingga belum memutuskan sampaikan kapan akan berhenti berbuat ini. Semoga ini akan berakhir karena dia sendiri tidak mau melakukan perbuatan kriminal ini.

“Ini bukan gaya gue....!ini bukan gue.....!” teriak Lingga dalam hati.

Kadang sering dia menangis jika mengingat perbuatannya. Dia tahu bahwa perbuatanya ini salah. Bagaimana jika Lingga tertangkap polisi. Pasti akan menambah masalah dan membuat sedih Ibunya.

Lingga tak mau keluarganya bersedih lagi......

“Aku tak akan mengecewakan Ibu.....Aku sayang sekali kepadanya...Aku sayang kepada adik adik ku.............” jerit Lingga dalam hatinya

Keluarga adalah harta yang tersisa yang ada....................

Dan Lingga tak mau jauh dan kehilangan mereka............



Jati diri yang hilang


Menginjak masa remaja. Lingga berhasil melanjutkan sekolah hingga SMA. Dia berhasil lulus dengan nilai terbaik disekolahannya. Lingga diterima disalah satu SMA Negeri yang tak jauh dari rumahnya.

Dia memiliki sahabat sejak SMP dan secara kebetulan  melanjutkan ke sekolah SMA yang sama.

Temannya bernama Ardi. Ardi anak turunan  Menado dan Sunda. Dia anak nomor 2 dari 7 bersaudara. Mereka berdua merupakan hasil produk keluarga berantakan yang tidak harmonis. Tapi mereka berdua memiliki keinginan yang sama, yaitu membahagiakan keluarganya. Mereka berdua merupakan bintang kelas. Saling bergantian mereka menduduki ranking 1-2 di sekolahan.

Walau mereka termasuk anak yang badung di sekolah, tapi kalau untuk urusan belajar dan prestasi,mereka selalu menjadi nomor 1.

Mereka sering menghabiskan waktu untuk belajar bersama, jalan jalan, nginap dirumah teman dan bolos sekolah. Mungkin karena merasa memiliki nasib yang sama lah, yang membuat mereka menjadi sahabat.

Pertama kali masuk ke SMA. Sebagai anak baru, mereka dan anak murid baru lainnya  di plonco oleh kakak kelas pada masa penataran. Disinilah awal jiwa pemberontak mereka bermula. Mereka berdua tidak terima di perlakukan kasar dan tidak adil oleh kakak kelas.

“Woi...! Kamu...! Anak baru ya...? sini kalian berdua!!!” sergah salah satu kakak kelas sambil melotot matanya.

“Kalian jongkok...sampai ke tiang bendera...cepat laksanakan!!jangan bantah!!!” teriak kakak kelas itu lagi kepada mereka berdua.

Mereka hanya tersenyum kecil dan memandang mata  dengan tajam.

“Kalo gue engga mau...kenapa...” jawab Ardi seperti menantang.

“Eh berani membantah....emang lu kira diri lu siapa hah...!” jawab kakak kelas itu sambil berdiri menghampiri Lingga & Ardi.

“Gue biasa diperlakukan keras...dan udah makanan sehari hari...” jawab Lingga tepat di depan muka kakak kelas itu.

“Gue akan lebih mampu berbuat jahat dari pada apa yang lu suruh...” lanjutk Ardi sambil berbisik ke telinga kakak kelas itu.

“Kalo berani coba....ayo.....kita buktikan!” Lingga berkata dengan geramnya.

“Belum pernah dipatahin ya lehernya!!!” tambah Ardi sambil memegang leher orang tersebut.

Seketika itu pula, kakak kelas yang lain berkumpul dan datang untuk melerai.

“Jangan coba coba macam macam dengan kami.....!!” kata Ardi sambil menunjuk wajah orang tersebut.

Setelah beberapa hari penataran, mereka baru tahu bahwa kakak kelas itu bernama Joko dan Abdul anak kelas 2 IPA. Sejak kejadian itu, nama mereka populer dikalangan murid murid dan terutama para guru.

Mereka berdua dijadikan sebagai simbol pemberontakan “Adik Kelas”. Ini baru pertama kali terjadi disekolah ini. Lingga & Ardi berani menentang perbuatan yang mereka anggap  sangatlah tidak pantas & tidak adil. Kejadian ini diketahui oleh beberapa guru disekolah dan menjadikan kami sebagai “2 anak berandal yang harus diawasi”

Masa penataran berakhir dan waktu sekolah normal dimulai. Awal minggu pertama masa sekolah, mereka berdua sudah mengajak semua anak murid laki laki untuk bolos sekolah. Hal ini membuat Lingga & Ardi masuk dalam “Buku hitam sekolah”.

Yah..itulah mereka....

Pada acara Idul Adha, biasanya murid laki laki menginap disekolah untuk mejaga hewam kurba dan mempersiapkan tenda untuk acara keesokan harinya. Lagi lagi Joko dan Abdul mencoba mengganggu Linga & Ardi.

“Eh kunyuk...sini lu...beliin kopi nih buat kita kita...’ bentak Joko.

“Buruan ... jangan pake lama...” tambah Abdul.

“Ah..kita berdua engga biasa ngopi..kaya kakek kakek aja....” jawab Ardi.

“Emang lu pada punya minuman apa sih...?” tanya Joko.

“Paling paling bandrek atau bajigur...” kata ambil yang disambut gelak tawa teman temannya.

“Hahahaha...dasar bencong...minuman gue sih ini...minuman laki laki...” jawab Lingga sambil menunjukan sekantong plastik minuman keras ke depan wajah Joko & Abdul.

Suatu ketika, disekolahan ada acara simulasi PEMILU yang diadakan setiap menjelang PEMILU. Semua murid yang cukup umur diwajibkan untuk mengikuti simulasi ini. Kenakalan dan keisengan Lingga dan Ardi timbul lagi.

Dalam simulasi ini, setiap murid disuruh memilih salah satu dari tiga gambar yang tersedia disetiap lembar kerta. Dikertas tersebut terdapat gambar ubi pada kolon 1, gambar apel pada kolom 2 dan gambar singkong pada kolon 3.

Sebelum acara simulasi dimulai, para guru menerangkan perbedaan gambar yang ada didalam kertas. Para guru mengatakan bahwa apel lebih enak dari pada ubi dan singkong. Mereka mengarahkan agar semua murid mengerti dan mencolok gambar apel tersebut.

Setalah semua anak anak dipanggil satu satu untuk masuk kedalam bilik dan mencoblos salah satu gambar yang ada didalam kertas, para guru mulai menghitung hasil suara. Dari 200 murid yang ikut, hanya 2 murid yang mencolok gambar singkong. Untuk mencapai hasil yang sempurna, simulasi dilakukan ulang. Setelaj selesai, para guru menghitung kembali hasil pemungutan suara. Dan hasilnya masih saja tetap sama.

“Siapa orang bego yang mencolok gambar singkong...?” tanya salah satu guru kepada semua murid. Tak ada satupun murid yang menjawab.

“Ayo ngaku......!” teriak guru tersebut.

Setelah diteliti ulang, akhirnya para guru mengetahui bahwa yang mencolok ganbar singkong itu adalah Lingga & Ardi. Merekapun di paling ke ruang guru.

“Jahh..kalian lagi...kenapa milih singkong...? kan lebih enak apel....” kata guru tersebut.

“Enak singkong Pak...lebih murah, sederhana dan merakyat...” sanggah Lingga.

“Eh...orang bego juga tahu kalau apel itu lebih enak...” guru tersebut menimpali.

“Walah Pak...kita mana bisa kebeli apel...’ jawab Ardi.

“Ya sudah...pokoknya...kalian berdua harus pilih apel..” lanjut guru tersebut.

“Kita tetap pilih singkong Pak..’ jawab mereka dengan kompak.

“Ok..terserah...kalau begitu kalian tetap tinggal disini saja....tidak usah bergabung lagi ke aula sekolah...” jawab guru tersebut dengan sedikit marah.

Lingga & Ardi hanya tersenyum melihat guru tersebut.

Sebagai anak yang beranjak dewasa, terkadang jiwa nakal mereka timbul hanya karena ingin iseng dan ingin mendapatkan perhatian. Guru guru baru mengetahui sifat  sesungguhnya setelah pembagian raport semester pertama. Ternyata penilaian para guru salah terhadap Lingga & Ardi . Setelah melihat hasil raport mereka berdua yang bagus, guru guru baru bisa mengetahui bahwa sebenarnya mereka adalah anak yang baik. Lingga & Ardi  juara 1-2 dikelas.Walau begitu,tetap saja mereka berbuat hal hal uyang sedikit nakal dan iseng.

Suatu hari selepas pulang sekolah, Lingga mengajak teman temannya untuk minum minum keras. Ada 1 teman  yang ingin dikerjain. Namanya Kholik. Dia terlalu klemar klemer sebagai laki laki.

“Lik....minum nih...air jamu...” kata Lingga sambil tersenyum.

“Ah yang bener Ga.....” jawabnya dengan muka lugu.

“Jiahhh...lu kaga percaya.,...nih gue yang minum dulu ya...” sahut Lingga sambil mengangkat gelas dan meminum air itu.

“Tuh kan,,,engga apa apa...” lanjutnya setelah meminum air itu.

“Bismilallah.....” Kholik mengangkat gelas dan ingin meminumnya.

Secara reflek Lingga cegah dan mengambil gelas tersebut. Lingga merasa bersalah mencoba meracuni teman sendiri walau sebetulnya  hanya ingin iseng saja. Lingga dan Ardi tertawa terbahak bahak melihat kepolosan si Kholik. Pesta minum pun berlanjut dan mereka menghabiskan 4 botol minuman.

Dengan minuman keras, mereka berharap dapat menghapus dan melupakan masalah yang dihadapi keluarga mereka masing masing. Sejenak mereka larut dalam kegembiraan sesaat. Jiwa muda mereka bergejolak memberontak atas ketidak adilan dalam hidup mereka. Dalam hatinya pun mereka berharap tidak mau mengalami hal seperti itu, tapi kenyataan bahwa merasa harus menghadapi masalah ‘perceraian keluarga”.

Setelah itu selesai, merekapun semua bergegas pulang kerumah masing masing. Sesampainya Lingga dirumah, dia melihat sang Ibu sedang membuat kue di bantu oleh adik adiknya. Lingga menatap wajah lusuh mereka. Dia membayangkan seandainya ayahnya ada dirumah ini.

“Bikin kue apa hari ini Ma....?” tanya Lingga.

“Bikin onde onde ama dadar gulung...kamu mau? Tuh udah Ibu sisakan untuk kamu...” jawab Bu Retno sambil membungkus kue kue itu.

“Adik adik sudah makan...?” balas Lingga.

“Ehmmm...belum....Ibu tidak punya uang yg cukup..” bisik Bu Retno ketelinga Lingga.”Kue yang kita dagangin hari ini banyak yang engga laku...” lanjut Bu retno dengan suara lirih.

“Ya sudah...tunggu ya....” jawab Lingga sambil sedikit bersedih dalam hati melihat keluarganya.

Dia pun bergegas ke perempatan jalan. Disana Lingga  menjumpai teman teman yang ada dipinggir jalan. Mereka mengamen dan meminta uang kepada supir supir truk container yang lalu lalang melewati jalan. Lingga pun mengamen dan bergabung bersama mereka. Dari ngamen & memalak supir supir, dia mendapatkan uang.

Lingga bergegas ke warung untuk membeli makanan untuk keluarganya. Setelah memberi 3 bungkus nasi., dia langsung pulang ke rumah.

“Ini nasi..aku beli 3 bungkus...’ kata Lingga kepada Ibu nya.

“Adik mu sudah tidur...sambil menahan lapar...kasihan mereka” sahut sang Bunda dengan berbisik.

“Ya sudah...bangunin aja....kasihan mereka belum makan...” jawab Lingga dengan sedih.

“Sekar....Bagus...ini Kakak belikan nasi...makan dulu yuk...” Lingga berkata sambil membangunkan adik adiknya.

Sambil mengusap mata, mereka bangun...

“Kak Lingga beli makan ya...hore....!” sambut mereka dengan gembira.

“Kamu engga makan....?” tanya Ibunya.

”Sudah tadi di warung...” jawab Lingga dengan singkat.”Ibu dan adik adik saja yang makan....” lanjut Lingga sambil menahan lapar.

Sebenarnya Lingga belum makan, api dia harus sanggup menahan laper karena uang yang didapat tidak cukup untuk membeli nasi lagi.

“Yang terpenting adalah adik adik ku dulu yang makan...” dalam benaknya Lingga berkata.

Hari pun berganti pagi, Lingga bergegas berangkat kesekolah. Dia membawa kue kue buatan sang Bunda untuk dititipkan di warung dekat rumahnya. Dengan menggunakan angkot, Lingga berangkat menuju sekolah.

Pada hari itu, tiba tiba Pak Galih datang mengunjungi Lingga disekolah.

“Lingga...tolong keluar sebentar...” perintah guru kelas kepadanya.

“Ada apa pak..?” tanya Lingga.

“Ada Ayah mu didepan....” jawab guru itu.

“Saya mohon ijin dulu ya Pak....” kata Lingga kepada guru itu.

“Silahkan....” sahut guru tersebut.


Setelah sekian lama akhirnya Lingga dapat bertemu dengan sang Ayah.

“Apa kabar Ga...?” tanya Pak Galih ke anaknya.

“Baik....Ayah gimana kabarnya...?” jawab  Lingga.

“Ayah baik baik..adik adik bagaimana???” sahut sang Ayah.

“Adik adik baik semuanya.....”  Lingga menjawab.

Ayah tidak menanyakan kabar kondisi Ibu. Dia hanya bertanya kabar kami bertiga. Lingga begitu kecewa tapi dia mencoba untuk menutupi perasaannya.

“Ini Ayah bawakan sepatu...Ini uang buat kamu. Bagi bagi ke adik adik mu ya....” Pak Galih berkata sambil menyerahkan bungkusan yang berisi sepatu dan amplop berisi uang ke Lingga.

“Ayah engga tanya kabar Ibu?” tanya Lingga dengan muka serius

Pak Galih hanya diam  tidak menjawab.

“Ayah pergi dulu.....” lanjut ayahnya.

“Ayah engga ingin pulang dan berkumpul lagi bersama kami...?” Lingga memberanikan bertanya seperti ini kepada Ayahnya.

Sekali lagi, Pak Galih tidak menjawab dan hanya diam saja. Dia hanya menundukan kepalanya sambil membalikan badan bergegas meninggalkan Lingga yang masih penasaran menunggu jawaban dari Ayahnya.

Senang, terharu, penasaran dan marah campur aduk dihati Lingga. Dia begitu senang & terharu dengan kehadiran dan perhatian dari sang Ayah, tapi Lingga juga penasaran dan marah mengapa pertanyaan tidak dijawab oleh ayahnya.

Sesampainya dirumah, dia menceritakan kejadian disekolah dan memberitahukan ke Ibunya bahwa Ayah datang kesekolahan memberikan sepatu dan uang.

“Jangan kamu terima...!” sergah Bu Retno sambil teriak menatap Lingga.

Begitu kagetnya Lingga dengan respon dari Ibunya. Tapi Lingga mengerti mengapa Ibunya sampai melakukan hal ini.

“Kita masihg bisa beli....!” lanjut sang Ibu  sambil memegang bahu Lingga.

“Tapi Bu...kita butuh...uang kita sudah habis..dan adik adik butuh sepatu baru....” jawab Lingga sambil menundukan kepala ketakutan.

“Mama masih bisa Ga...” jawab Ibu sambil mengusap air matanya.

“Kita masih bisa beli...walau dari hasil jual kue nak...” jawab Bu retno sambil menangis.

“Maafkan Lingga Bu...” sahut Lingga sambil mencium tangan sang Bunda.


Lingga mencoba mencairkan suasana...

“Sekar...Bagus...nih ada sepatu dari Ayah...” kata Lingga kepada adik adiknya.

“Ayah mana...? “ tanya bagus ke Lingga dengan logat cadelnya.

“Ayah kerja....” jawab Lingga mencoba menutupi.

“Kok engga pulang pulang ya....emang punya rumah yg lain...” tanya Bagus dengan polosnya.

“Iya..kok engga pulang pulang...Ayah engga sayang sama kita..” Sekar menambahkan.

“Ayah masih sibuk....tugas luar kota...” Lingga mencoba menerangkan kepada mereka.

“Oh...” jawab mereka dengan kompak.


Lingga lihat mata yang berbinar senang adik adiknya karena mendapatkan sepatu baru.

“Ma...bagus punya cepatu balu...holeeeeee.....” Bagus berkata sambil memeluk sepatu barunya.

“Iya Ma...Sekar juga punya sepatu baru...besok sekolah pakai ah...” lanjut Sekar sambil mencoba sepatu barunya.

Ibu hanya terdiam dan melihat kami dengan sedih. Begitu senangnya adik adiknya memenerima pemberian dari sang Ayah.

Dalam hati Lingga berkata...

“Semoga saja walaupun Ayah sudah bercerai dengan Ibu, Semoga dia tidak lupa memperhatikan kehidupan kami. Semoga dia bisa membantu biaya hidup kami”.

“Semoga Ayah sering datang menemui ku dan memberi uang, juga tidak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah kepada kami” lanjut  Lingga berharap dalam hati.

Karena begitu rumitnya permasalahan yang dihadapi Lingga. Suatu ketika di semester 4 kelas 2. hasil ujian lingga turun dengan drastis. Karena hasil buruk ulangannya, Lingga di panggil salah satu guru BP  bernama Bu Sri.

“Lingga...kenapa kamu?.....hasil ulangan semester kamu turun drastis.....” kata Bu Sri ke Lingga.

“Jauh banget perbedaannya...” tambah Bu Sri.

Lingga hanya bisa tertegun menundukan kepala...

“Ibu engga tahu apa yang kamu hadapi...” kata Lingga dalam hati.

“Coba cerita sama Ibu....ada apa...siapa tahu Ibu bisa bantu ya...” lanjut Bu Sri.

“Sebetulnya saya engga mau bercerita Bu....tapi ya sudah...” jawab Lingga dengan pasrah.

Linggapun mulai bercerita perihal masalah yang menimpa keluarganya. Bu Sri mendengarkan dengan serius setiap kata yang keluar dari mulut Lingga. Bu Sri tak menyangka apa yang dialami oleh Lingga. Yang Bu Sri tahu bahwa keluarga Lingga baik baik saja.

Bu Sri terdiam sejenak lalu berkata....

“Ya sudah....Ibu mengerti perasaan kamu...sabar ya...” kata Bu Sri.

“Kamu ikut ulangan susulan ya....” lanjut Bu Sri.

“Percuma Bu..pasti hasilnya tetap engga bagus...puyeng kepala saya Bu...” kata Lingga

“Biarlah Bu hasilnya engga bagus....semester depan pasti saya belajar giat lagi....” tambah Lingga dengan pasrah.

“Tapi kamu haru bisa mempertahankan prestasi kamu Lingga..meski kamu memiliki masalah...” kata Bu Sri.

“Tunjukan bahwa kamu bisa...dan kamu bukanlah orang yang lemah...” Bu Sri mencoba menyemangati Lingga

“Ya sudah....”  Lingga menjawab.

“Apalagi kamu juga belum membayar uang SPP...kamu harus pikirkan jalan keluarnya juga ....sebentar lagi pembagian raport....” lbu Sri melanjutkan pembicaraannya.

Lingga pun mengikuti ulangan ujian susulan. Dia kerahkan semua pikiran serta daya ingatnya. Lingga berseru dalam hati ...

“Apa yang dikatakan Bu Sri  itu benar...aku tidak boleh lemah...” seru Lingga dalam hati.


Setelah mengerjakan semua ulangan susulan,Bu Sri langsung memeriksa satu persatu jawaban yang ditulis Lingga. Dengan teliti Bu Sri memeriksa.

“Ok...ini baru anak Ibu...” Ibu Sri berkata sambil tersenyum dan menunjukan nilai hasil ulangan ujian susulan Lingga.


Pada saat kelas 2 SMA semester 2, memang kondisi keluarga Lingga tetap tidak berubah dan malah cenderung makin parah saja. Raport Lingga ditahan sekolah karena dia menunggak SPP sampai 6 bulan. Padahal waktu pembagian raport sudah dekat.

Beruntung sekali, dia memiliki sahabat perempuan teman sekelas. Dia bernama Winda. Anak seorang karyawan swasta. Anak ke 3 dari 4 bersaudara yang semuanya perempuan.Dia memiliki perekonomian yang baik dan keluarga yang harmonis. Lingga sering berkunjung kerumahnya. Disana dia menemukan”Cinta” yang hilang didalam keluarganya sendiri. Lingga menemukan ketenangan jiwa di rumah Winda.

Winda seorang anak yang baik. Dia baik kepada teman teman yang lain. Hanya saja Winda memiliki kelemahan fisik karena penyakit astma yang dideritanya. Sering kali pada saat upacara disekolah, dia pingsan. Lingga yang sering membopong, merawat dan mengantarkannya pulang ke rumahnya. Lingga lakukan ini hal karena rasa sayang kepada Winda sebagai sahabat. Apalagi Lingga merasa telah menemukan keluarga baru yang bisa menenangkan jiwanya.

Terkadang sering juga, Ibunya Winda memberikan Lingga uang setelah mengantarkannya pulang kerumah. Lumayan buat uang saku dan makan buat keluarganya.

Wajah Lingga murung dan kepala pusingnya memikirkan bagaimana dia bisa memilki uang untuk bayar SPP yang waktunya sebentar lagi tiba. Lingga merasa malu karena tidak  bisa membayar uang SPP. Percuma jika besok datang kesekolah karena sekolah tidak akan memberikan raport sebelum dia membayar lunas uang SPP. Apalagi disaat yang bersamaan, Ibunya sakit. Penyakit ginjalnya kambuh dan menyebabkan Bu Retno tidak bisa hadir. Ditambah lagi mereka tidak memiliki uang. Lengkap sudah lah penderitaan Lingga.

Tapi dihari pembagian raport. Lingga belum juga memeilki uang. Jika memang sekolah tidak mau memberi raport, Lingga sudah pasrah. Yang penting dia bisa tahu apakah semester tahun ini dia bisa juara kelas lagi atau tidak.

Lingga berdiri di pintu sekolah. Matanya melihat orang tua murid yang datang mengambil raport anaknya. Mereka datang bersama Ayah atau bersama Ibunya saja. Dia membayangkan seandainya  memiliki keluarga seperti mereka. Lingga hanya bisa tersenyum kecil. Tak mungkin dia memiliki keluarga seperti mereka. Kesal dan marah Lingga tahan dalam hati.

Teman Lingga, Ardi mencoba menghibur diriku dengan lelucon lucunya.

“Jangan sedih bro....tenang aja...pasti ada jalan keluarnya..sori gue kaga bisa bantu...” ujarnya sambil mencoba menenangkan hati Lingga.

“Engga apa apa...” jawab Lingga mencoba menenangkan diri.

Dari kejauhan Lingga melihat Winda datang bersama Ibunya. Diapun mendekati dan  mencium tangan Ibunda Winda, sambil membayangkan seandainya sang Ibu juga mampu hadir mengambil raportnya.

“Ibu mu mana Ga....?” tanya Ibunya Winda.

“Sakit Bu....” sahut Lingga.

“Ibu kedalam kelas ya....kamu jangan kemana mana...” seru Ibunda Winda sambil tersenyum.

Lingga melihat Winda yang hanya tersenyum senyum kecil...

“Dengerin Ibu tuh...disuruh tunggu..jangan kemana mana...” Winda menimpali.

Diruang kelas sudah banyak orang tua murid yang hadir untuk mengambil raport anaknya masing masing. Sambil menunggu giliran, satu persatu orang tua murid dipanggil sesuai dengan nama anaknya. Lingga hanya bisa mengintip dari jendela kaca sekolah. Dia pasrah......mungkin juga yang terburuknya adalah dia tidak bisa melanjutkan sekolah....

Hingga akhirnya namanya dipanggil...

“Orang tua Lingga ada...?’ tanya wali kelas.

Lingga tertunduk lemas mendengar panggilan itu. Tidak mungkin Lingga mengambil rapotnya. Uang tak punya dan Ibunya pun terbaring sakit dan tak bisa datang untuk mengambil raport. Lingga mencoba mengintip dari jendela kaca. Dia melihat Ibunya Winda jalan menghampiri meja guru.

“Ya...saya Ibunya Lingga...” kata Ibunya Winda.

“Ibu bukannya orang tua dari Winda...?” sahut wali kelas dengan muka heran.

“Lingga juga anak saya......” sahut Ibunya Winda.

“Lingga menunggak SPP selama 6 bulan Bu....” sahut wali kelas.

“Saya yang bayar.....untuk seterusnya saya yang akan bayar SPP Lingga...” jawab Ibunya Linda sambil menyerahkan uang untuk membayar SPP.

“Oh..ya sudah kalau begitu...ini raportnya Lingga...dia juara 1 ya Bu...” kata wali kelas.

“Oh ya....terima kasih,,,” jawab Ibunya Winda. “kalau begitu saya permisi...mari...” lanjut Ibunya Winda.

Lingga hanya bisa bengong dan terdiam. Tak bisa dia percaya apa yang telah dilihatnya tadi. Ada Malaikat penolong yang menyelamatkan hidup Lingga. Ibunya Winda sang penyelamat itu. Ibu Winda membantu pembayaran tunggakan SPP. Lingga begitu gembira dan berlari menghampiri Winda dan Ibunya.

“Ibu...terima kasih....” kata Lingga.

“Winda cerita sama Ibu...katanya kamu menunggak SPP...itu sudah Ibu bayarin...” seru Ibunya Winda.

“Seterusnya...biar Ibu yang bayarin SPP kamu...kamu juara kelas ya...Ibu bangga sama kamu Ga...” lanjutnya.

“Terima kasih Bu...” Lingga menjawab sambil mencium tangan Ibunya Winda.


Lingga pegang tangan Winda...

”Winda...terima kasih ya...” kata Lingga.

“Kamu memang temanku  yang baik.....” Lingga menambahkan.

“Kan kamu sering tolong aku Ga...yah wajarlah aku menolong kamu juga...ok...” jawab Winda sambil tersenyum.

“Kok kamu bisa tahu masalah ini..dari mana tahunya...?” tanya Lingga ke Winda sambil terheran heran.

“Ibu Sri guru BP yang cerita...” jawab Winda.

“Oh.....” jawab Lingga dengan singkat.


Winda pun bercerita ke Lingga bagaimana hal ini sampai terjadi...

Pada hari ulangan ujian susulan, setelah memeriksa hasil ujian Lingga, Bu Sri memanggil Winda dan bercerita dan bertanya apakah Winda mengetahui masalah yang dihadapi Lingga. Bu Sri berfikir karena Winda adalah sahabat dekat Lingga, mungkin Winda tahu masalah yang dialami Lingga. Setelah selesai Bu Sri bercerita, Windapu pulang. Pada saat dirumah, Winda lantas bercerita kepada Ibunya soal tunggakan SPP dan masalah keluarga Lingga.

“Ma...Lingga belum bayaran 6 bulan...raportnya ditahan...” ujar Winda kepada Ibunya.

“Lho kenapa begitu...?” tanya Ibunya Winda.

“Ya engga tahu..tapi bantu Lingga ya....dia kan baik sama aku...dia sering anterin aku pulang kalau aku pingsan disekolah” pinta Winda sambil bersandar kebahu Ibunya seraya bermanja manja.

“Dia itu pintar lho Bu... juara kelas...” lanjut Winda.

“Kasihan Lingga...ya udah besok pada saat pembagian raport Ibu akan datang ke sekolah...” jawab Ibunya.

Begitulah cerita Winda kepada Lingga....

Setelah mengantar Ibunya Winda ke dalam mobil, Lingga dan Winda melanjutkan ceritanya dikantin sekolah. Mereka berdua sudah seperti adik dan kakak. Persahabatan membuat mereka berdua selalu bersama. Winda juga merasa nyaman jika berada disamping Lingga. Lingga sudah dianggap saudaranya sendiri, apalagi Winda tidak memiliki saudara laki laki.

Hari itu begitu sangat special dan menyenangkan hati Lingga. Bagaimana tidak, disaat genting, ternyata ada orang yang menolong. Lingga merasa telah menemukan “Rumah ke 2” dalam hidupnya.

Setelah kejadian itu. Lingga semakin dekat dengan keluarga Winda. Sering kali dia naik sepeda  bermain dan belajar di rumah Winda, walau jarak antara rumahnya dengan rumah Winda cukup jauh. Pernah juga disaat Lingga mabok, pusing karena memikirkan keluarganya, dia mampir kerumah Winda untuk bercerita. Ibunya Winda dengan sabar menenangkan dan menasehati Lingga.

“Kamu jangan mabok dong ya....kasihan ama Ibu dan adik adik mu tuh...” saran Bu Winda.

“Jangan sampai menambah masalah...” lanjutnya.

“Maafkan saya ya Bu....” jawab Lingga merasa bersalah.

“Sayangi Ibu mu...” Ibunya Winda menambahkan.

“Kamu makan dulu sana....” perintah Ibunya Winda.

Kata kata sang Ibu begitu menyejukan hati dan jiwanya. Kata kata dan nasehat seorang Ibu kepada seorang anak.

Tapi, ayahnya Winda begitu tidak suka terhadap Lingga. Dimatanya Lingga adalah anak yang nakal dan tidak memiliki masa depan yang bagus. Pernah suatu ketika disaat Lingga berkunjung kerumah Winda , pas kebetulan  ayah Winda pulang dari kantor. Melihat Lingga yang datang dalam keadaan mabok, lantas dia mengusir Lingga.

“Ayah...kenapa mengusir Lingga...?” tanya Ibunya Winda ke suaminya.

“Lah anak nakal begitu kok diterima masuk rumah....” sahut ayahnya Winda dengan ketus.

“Lingga itu naik baik lho...dia pintar...anakmu kalau pingsan disekolah...dia yang anterin...” jawab Ibunya Winda dengan nada sedikit tinggi.

“Nanti maling rumah kita...anak itu sering mabok kan...?” tanya ayahnya Winda.

“Iya....tapi dia baik kepada anak mu....dia hanya anak yang perlu kasih sayang...orang tuanya bercerai...” sahut Ibunya Winda.

“Wahhh...apalagi anak dari keluarga broken home...” lanjut ayahnya Winda.

“Iya...tapi dia baik....dia juara kelas lho Yah...” lanjut Ibunya Winda.

“Ya sudah ....” jawab ayahnya Winda.”Tapi awas kalau dia pacaran dengan Winda...” lanjutnya lagi.

Winda dan Ibunya hanya bisa menggeleng gelengkan kepala melihat sikap ayah/suaminya terhadap Lingga.

“Sabar ya Ga...” Winda berkata kepada Lingga.

“Ayah ku orangnya baik kok....” lanjut Winda.

“jangan marah ya Ga...” Ibunda Winda menambahi.

“Aku pulang deh...maaf ya udah mengganggu nih...” jawab Lingga dengan lemas.

“Jangan kapok...kamu mau kan tetap jadi sahabat aku...?” tanya Winda.

“Pastilah...terima kasih udah bantu aku selama ini...” jawab Lingga.

“Iya...” jawab Lingga.

Lingga sudah menganggap Winda sebagai sahabat. Sahabat terbaik. Sahabat yang dia sayangi. Dia  begitu hormat kepada keluarganya Winda. Lingga sering menemani Winda ke Bank untuk mengambil uang deposito pendidikan Winda. Winda sering minta dia untuk menemaninya jalan jalan atau belanja sesuatu.

Lingga berbisik dalam hati....

”kelak jika aku ingin menikah...aku ingin memiliki istri seperti Winda...dia baik, cantik dan sering menolong orang...”. 

“Semoga saja kau memiliki pacar dan istri seperti Winda” Lingga berkata dalam hati.

Disekolah Lingga juga memiliki pacar. Namanya  Nensi kakak kelas Lingga. Sering kali Nensi merasa cemburu karena Lingga lebih  sering menghabiskan waktunya bersama Winda. Itu sebagai bentuk balas budi Lingga terhadap kebaikan keluarganya Winda. Lingga tidak pernah menolak sekalipun jika Ibunya Winda atau Winda meminta pertolongannya. Lingga selalu siapa untuk Winda. Apalagi Winda juga memiliki pacar seorang perwira polisi yang masih pendidikan diluar kota.

Hal ini sering membuat Nensi cemburu. Tapi Lingga tak perduli karena diantara dia & Winda hanya sahabat saja.

“Ga....kamu jalan ya dengan Winda?” tanya sang pacar.

“Kalau memang tidak mengerti kondisi aku, yah lebih baik putus saja...” Lingga berkata kepada pacarnya.

“Winda itu saudara ku....kalau kamu cemburu...itu lucu....” lanjut Lingga dengan senyuman.

“Engga usah  cemburu lah...” ucap Lingga sambil memeluk Nensi.

Lingga sudah pernah membawa Nensi berkunjung ke rumahnya. Lingga memperkenalkan Nensi kepada Ibu dan adik adiknya. Hubungan mereka direstui oleh sang Bunda.

“Kamu udah mulai pacaran...?” tanya sang Ibu ke Lingga.

“Iya Ma....engga apa apa kan...?” jawab Lingga.

“Ya sudah...asal tidak menggangu belajar kamu...” pinta sang Ibu.


Akhirnya kisah cinta mereka kandas setelah Nensi lulus ujian sekolah. Lingga begitu marah setelah melihat hasil ujian Nensi yang tidak bagus.

“Kok kecil sih nilainya...?kamu belajar engga sih...?” tanya Lingga ke Nensi.

“Aku belajar....tapi memang segini hasilnya...” kilah Nensi.

“Iya aku ngerti...tapi ini jelek banget...” jawab Lingga.

“Yang penting kan lulus...” jawab Nensi dengan ketus.

“Kita berpacaran....aku mau memiliki pacar yang pintar....” balas Lingga. “Jika nanti menikah..aku juga mau memiliki istri yang pintar...agar anak aku tidak bego...” lanjut Lingga.

“Terus kenapa....?” tanya Nensi,

“Ya sudah...kita putus...karena aku engga mau punya pacar yang bego...” jawab Lingga sambil meninggalkan nensi di pinggir lapangan upacara sekolah.

Hari itu mereka berdua putus. Tak ada lagi kontak setelah Nensi lulus sekolah. Keberadaan nensi pun Lingga tak tahu. Apakah dia kuliah atau melanjutkan hobinya sebagai penari.


Hari hari pun berlalu. Lingga tetap menajalani kehidupannya sehari hari. Dia masih tetap membantu Ibunya berjualan kue, mengamen dan menjadi kenek. Lingga lebih banyak menghabiskan waktu bersama Winda. Tak jarang juga Lingga menginap dirumah Ardi atau sekedar nongkrong bersama teman temannya.

Suatu hari Winda memberi kabar bahwa dia tidak masuk sekolah dulu selama 1 minggu. Winda tidak masuk sekolah karena harus keluar kota menjenguk pacarnya yang sedang sakit. Pacar Winda bernama Eko. Dia calon perwira Polisi. Eko berasal darikeluarga terpandang dilingkungan rumah Winda. Hubungan mereka berdua sudah berjalan hampir 2 tahun.

Malam itu Lingga mendapat kabar dari kakaknya Winda, Mba Tuti bahwa kekasih Winda telah meninggal dunia karena kanker otak. Winda begitu amat terpukul...

Setibanya di kediaman Winda setelah acara pemakaman, Lingga pun mencoba memberi semangat Winda...

“Sabar ya Win....” kata Lingga dengan suara pelan.

Dengan mata yang masih sembab, Winda menjawab...

“Iya Ga....aku kehilangan banget....” Winda menangis dan menyandarkan kepalanya ke bahu Lingga. Lingga membelai lembut rambut dan wajah Winda.

“Iya...kita semua kehilangan Mas Eko...” Lingga berkata sambil mengusap air mata Winda.

“Kamu tabah ya....Aku akan jagain kamu terus...kalau ada apa apa...kalau kamu perlu bantuan...aku siap...ok...” lanjut Lingga sambil  mencoba menenangkan hati Winda.

Waktu terus bergulir. Lingga menepati janjinya kepada Winda bahwa dia selalu siap dan ada jika Winda memerlukan bantuannya. Selang beberapa bulan, Winda memperkenalkan kekasih barunya bernama Dimas. Dimas seorang pelaut yang berlayar kapal penumpang sekitar jalur Eropa dan Asia,

“Ga,,,kenalin....ini Dimas....” kata Winda.

“Lingga.....apa kabar Mas?” jawab Lingga mencoba lebih akrab.

“Baik...saya denger kamu sering jagain Winda ya...terima kasih lho...” Dimas menjawab. “Saya banyak mendengar cerita tentang kamu dari Winda...” lanjut Dimas.

“Iya Mas....” sahut Lingga tersenyum.

“Tolong jagain ya...karena saya sering ke luar negeri...6 bulan sekali saya baru balik ke Indonesia...” Dimas mencoba bercerita kepada Lingga.

“Tenang aja mas...Winda saya jagain deh...” sahut Lingga dengan ramah.

“Terima kasih ya Ga...” balas Dimas.

Winda sering bercerita kepada Lingga soal hubungannya dengan Dimas. Kehadiran Dimas mampu menghapus sedih di kehidupan Winda. Mereka sudah mulai mempersiapkan segala sesuatu jika kelak mereka jadi menikah. Apalagi keluarga mereka sudah pernah saling berkunjung dan kenal satu sama lain.

Lingga pun turut bergembira. Sebagai sahabat dia pasti turut sennag jika Winda bahagia.


Kelas 3 semester akhirpun tiba. Lingga belajar dengan sungguh sunggu agar mencapai hasil yang terbaik. Tapi dia bingung apakah harus tetap belajar atau tidak. Ini karena dia ragu apakah  mampu melanjutkan pendidikan ke universitas. Buat apa belajar giat kalau memang tak mampu melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

Teman temannya sudah banyak yang bicara dan bercerita, jika mereka lulus nanti kan melanjutkan ke Universitas.

“Kamu mau melanjutkan kemana Ga...?” tanya salah satu teman sekelas.

“Sayang banget kalau engga ngelanjutin kuliah...kamu kan pintar...” lanjutnya lagi.

“Lihat nanti aja....” jawab Lingga dengan pasrah.

“Aku sih sudah mendaftar di salah satu universitas...” lanjut temannya lagi.

“Sukses deh ya....” jawab Lingga sambil menundukan kepala mencoba memikirkan kelanjukan pendidikannya yang belum pasti.

Tapi Lingga tetap berusaha untuk tetap giat belajar. Jangan sampai mengecewakan keluarga Winda yang selama ini membantu membayar uang SPP nya. Disamping belajar, Lingga pun mencoba untuk mencari informasi kerjaan. Dia sudah harus siapkan rencana jika kondisi yang sangat terburuk terjadi, jika dia tidak bisa melanjutkan pendidikan. Jangan sampai jadi pengangguran. Itu niat dan rencana Lingga.

Sementara itu, Lingga mencoba mencari keberadaan ayahnya di kantor. Hari itu Lingga datang. Dia bertemu dan memberi tahu bahwa aku sebentar lagi lulus SMA.

“Yah...aku sebentar lagi lulus SMA....apakah aku melanjutkan ke universitas?” tanya dia kepada sang Ayah.

“Mending engga usah...kamu kerja saja...biar bisa membantu Ibu dan aik adik mu...’ jawab Ayahnya dengan tegas.

“Lagian duit dari mana buat biaya kuliahnya....?” lanjutnya lagi.

 “Ada teman Ayah yang membutuhkan karyawan....kamu mau kerja?” Ayahnya berkata.

“Kalau mau...nanti kamu datang kesini lagi...” sang Ayah berkata lagi.

“Iya...” jawabku lunglai.

Sebenarnya Lingga ingin sekali melanjutkan sekolah. Tapi apa boleh buat, biaya tidak ada. Dia harus  mengurungkan niat cita citanya.

Hari pembagian hasil ujianpun tiba. Lingga memperoleh hasil yang baik. Seminggu yang akan datang diadakan acara perpisahan di Puncak Bogor. Lingga tidak ikut karena aku tidak memilki biaya. Malu rasanya meminta pertolongan Ibunya Winda lagi. Dan Lingga merasa ini tidak penting  dan dia engga perlu ikut di acara perpisahan. Walau sebenarnya dia juga ingin ikut dan ingin menghabiskan waktu yang tersisa bersama dengan teman temannya.

“Kamu engga ikut Ga...?” taya Winda.

“Engga Win....aku mau melamar pekerjaan...” jawab Lingga.

“Kalo engga punya uang bilang aja...nanti akau minta ama Mama aku...” Winda menimpali.

“Engga usah kok...jangan....kamu udah banyak bantu aku...” jawab Lingga singkat.

“Kuliah nanti...?” lanjut Winda.

“Engga lah...lebih baik aku kerja Win..bisa bantuin Ibu...” jawab Lingga dengan rasa malu.

“Kamu gimana Win??kuliah...”  Lingga bertanya.

“Iya..aku kuliah...” Winda menjawab sambil tersenyum.

“Tetap sering sering ke rumah ya....” lanjut Winda sambil menggapai tangan Lingga.

“Pasti Win.....Pasti....” sahut Lingga sambil senyum.

“Aku bawa kamera nih...foto bareng yuk,....”  pinta Winda.

Akhirnya mereka berdua berfoto bareng berdua. Itulah moment yang indah bagi Lingga. Winda ternyata tetap perhatian dan sayang padanya. Winda adalah teman yang baik. Takkan akan pernah terlupakan oleh Lingga....

Dimalam sebelumnya, Lingga meminta ijin kepada Ibunda....

“Ma...besok pagi aku dan Ayah ingin pergi...Ayah membantu ku memberi pekerjaan...” Lingga berkata sambil bersimpuh.

“Mau kerja dimana....?” tanya sang Bunda.

“Kerja di daerah Bogor Ma...” jawab Lingga.

“Kamu jaga diri baik baik ya Nak....dari kecil kamu engga pernah merasa bahagia...maafkan Mama ya...” jawab sang Bunda sambil memeluk tubuh Lingga.

“Aku akan pulang 2 minggu sekali...jika aku gajian, pasti uangnya aku berikan ke Mama...” balas Lingga.

“Jaga kondisi ya Ma..jagain adik adik juga ya...” lanjut Lingga bersedih.

“Iya...Mama sebenarnya tidak mau kamu jauh jauh dari keluarga...tapi.....” jawab Bu Galih lirih.

“Iya....Lingga juga..tapi aku harus bekerja...supaya adik adik tetap bisa sekolah dan Mama engga perlu lagi dagang kue...” jawab Lingga sambil menatap wajah Ibunya.

“Iya Nak...Mama senang akmu bicara seperti itu....” sahut sang Bunda.

Ke esokan harinya, acara perpisahan tiba dan Lingga pun sudah harus pergi bersama Ayahnya.

“Ma...aku pergi...doain ya...” kata Lingga sambil mencium kening Ibunya.

“Sekar...Bagus...jangan Nakal..Kakak mau mencari kerja dulu...jika gajian..kita akan pergi jalan jalan...ok...” pesan Lingga kepada adik adiknya.

Sambil menangis dan mencium wajah Lingga, Sang Ibu berkata...

“Mama doakan....Maafkan Mama yang belum pernah membahagiakan kamu ya sayang....jaga diri baik baik”.


Ditempat lain, teman teman Lingga menyambut dengan suka cita acara perpisahan ini, sedangkan Lingga sedang berusaha mencari pekerjaan. Dihari yang sama Lingga dan Ayahnya pergi ke daerah Bogor ke salah satu pabrik rotan disana. Kebetulan sang pemilik perusahaan adalah teman Ayahnya Lingga. Lingga sudah siap membawa pakaian dan bekal karena Ayahnya berkata padanya bahwa Lingga pasti diterima bekerja dan akan tinggal di mase.

Diperjalanan. Lingga berpapasan dengan bis yang membawa teman temannya untuk erayakan acara perpisahan sekolah. Didalam angkutan umum, Lingga hanya bisa melihat keceriaan teman temannya.

“Seandainya aku ada disana bersama mereka....” seru Lingga dalam hati.

Sesampainya ditujuan, Lingga dan Ayahnya dipersilahkan masuk ke dalam kantor pabrik rotan tersebut. Pemiliknya bernama Pak Johan. Warga keturunan.

“Apa kabar Pak Galih...?” tanya Pak Johan.

“Baik...ini anak saya Lingga...dia baru lulus SMA...dia mau bekerja....” kata Pak Galih.

“Oh..pasti bisa...kamu benar mau kerja Lingga...?” tanya Pak Johan kepada Lingga.

“Mau Pak...” sahut Lingga.

“Ok...kamu bisa mulai bekerja besok....disini ada mase untuk tempat tinggal karyawan..kamu boleh memakainya...” jawab pak Johan sambil menunjuk tempat mase nya,

“Mari ikut saya...saya akan perkenalkan kamu ke HRD...nanti kamu di tempatkan di bagian PPC dulu ya...belajar dulu dari bawah...ok...” Pak Johan menasehati Lingga.

Setelah Lingga diperkenalkan ke HRD dan beberapa staf pabrik tersebut, Lingga ditemani HRD menuju ke kamar mase karyawan. Disini sudah ada beberapa karyawan yang tinggal. Ada 18 kamar tidur. Setipa kamar berisi 2 orang.

Setelah diperkenalkan dengan teman sekamar, Lingga pun menaruh pakaian dan bekalnya yang dia bawa dari rumah ke dalam lemari. Setelah selesai, Lingga bergegas kembali menemui Ayahnya dan Pak Johan.

“Kamu kerja yang baik....jangan bikin malu Ayah...” seru Pak Galih.

“Iya Yah...aku akan bekerja dengan baik...tapi kalo aku boleh bertanya...kapan Ayah bisa berkumpul lagi....?” tanya Lingga kepada Ayahnya.

“Udah engga usah tanya soal itu lagi....udah syukur kamu Ayah bantu...” Pak galih menjawab dengan ketus.

“Ayah pergi dulu...mau ke kantor...” sahut sang Ayah.

“Iya Yah...” jawab Lingga sambil mencium tangan Ayahnya.

“Ini uang untuk pegangan kamu selama belum terima gaji...irit irit ya...” pesan Ayahnya.

Pak Galih pun meminta ijin dan berterima kasih dengan Pak Johan. Setelah itu, Pak Galihpun bergegas pergi meninggalkan pabrik menuju kantornya.

Ke esokan hari Lingga sudah mulai bekerja. Dia belajar banyak mengenai tugas PPC yang mengirim bahan baku dasar pembuatan kerajinan rotan ke dalam bagian pembuatan produksi didalam pabrik.

Hari demi hari dilalui Lingga dengan bekerja keras. Setiap hari Lingga mulai bangun jam 6. Masuk kerja jam 8 dan selesai kerja jam 6 sore. Sepulang kerja Lingga mencuci dan menggosok pakaian. Semua dilakukan bersama sama dengan karyawan lainnya.

Setiap minggu, Lingga pasti pulang untuk menjenguk keluarganya. Biasanya dia selalu membawakan oleh oleh untuk adik dan Ibunya. Setiap gajian, Lingga pasti menyisihkan uangnya untuk diberikan kepada sang Ibu untuk membantu membiayai sekolah dan makan keluarganya.

Setahun sudah Lingga bekerja. Selama bekerja, Lingga kehilangan kontak dengan Winda. Lingga sibuk dengan pekerjaannya dan Windapun sibuk dengan kuliahannya. Hingga suatu saat Lingga menerima kabar bahwa Ibunda Winda meninggal dunia. Lingga sangat terkejut dan merasa kehilangan. Karena Ibunda Winda sudah menjadi bagian hidup dan sudah dianggap Ibu kandungnya sendiri.

Bergegas Lingga pulang menuju rumah Winda dengan menggunakan bis. Tapi sayang, Lingga terlambat datang. Almarhum Ibunda Winda sudah dibawa untuk dikubur di kampung halaman keluarga Winda. Lingga hanya bisa bertemu dengan sanak famili yang menjagai rumah Winda.

Sedih teramat dalam karena Lingga tidak sempat melihat wajah seorang Ibu yang sering membantunya semasa sekolah dan menyayangi dirinya.

“Sakit apa Ibu...?” tanya Lingga ke salah satu sanak keluarga Winda.

“Sakit kanker payudara....” jawabnya.

“Sudah lama...?” tanya Lingga dengan penasaran.

“Sudah Mas...sekitar 2 tahunan...” jawabnya lagi.

Jadi semasa sekolah dulu, ternyata Ibunda Winda sudah mengidap penyakit tersebut, hanya saja tidak dirasanya oleh Ibunda Winda. Akhirnya penyakit semakin menjalar dan bertambah parah.

“Sudah 1 tahun dirawat dirumah sakit...” tambah sanak saudaranya itu.

“Mba Win yang rajin menjada Ibunya...” kata orang itu.

“Dikubur dimana pak rencananya...?” tanya Lingga.

“Dikampung Ibu..didaerah Cilegon....” jawab orang tersebut.

Seandainya ada kendaraan, Lingga ingin rasanya menyusul Dia ingin sekali melihat wajah Ibunda winda untuk yang terakhir kali. Lingga sangat menyesal...

“Mas ini siapa....?” Tanya orang itu.

“Saya Lingga Pak..temannya Winda ...” Lingga menjawab.

“Oh Mas Lingga...ini ada surat dari Mba Win...” jawab orang itu sambil menyerahkan sepucuk surat dari Winda.

Lingga segera membuka amplop dan membaca surat tersebut....

“Untuk Lingga....apa kabar sahabat ku? Ibu sudah tidak ada lagi diantara kita. Aku dan keluarga sedang menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Aku dan keluarga mencoba menunggu kamu, tapi karena waktunya yang sempit maka kami memutuskan untuk segera berangkat.

Ada pesan terakhir dari Ibu...beliau minta untuk kamu tetap bisa menjaga aku....
Winda berharap kamu mau menunggu sampai pemakamam Ibu selesai.

Winda”

Begitulah isi surat tersebut. Lingga menunggu Winda dirumahnya.

Sesampainya Winda dirumah,. Mereka pun saling berpelukan dan menangis. Terlihat jelas wajah Winda yang sangat terpukul akibat kepergian sang Bunda,

“Kamu kemana aja Ga....Ibu sakit......” kata Winda sambil menangis.

“Maafkan aku Win....sekali lagi aku mohon maaf...” jawab Lingga.

“Sebelum Ibu meninggal...dia tanyain kamu.... “ kata Winda dengan lirih.

“Aku kerja....dan jarang pulang ke Jakarta” Lingga mencoba menerangkan ke Winda.

“Kamu tetap mau kan jadi sahabat...kamu mau kan sayangi aku dan jagain aku...” tanya Winda.

“Iya Win...pasti aku akan jagain kamu...” jawab Lingga sambil memeluk tubuh Winda.

Walau bukan Ibu kandung, tapi Lingga merasa kehilangan yang amat sangat. Untuk kesekian kalinya Lingga merasa kehilangan orang yang dicintai dan disayangi. Orang yang bagi Lingga merupakan orang yang terdekat di hati yang pergi meninggalkannya. Sebelumnya adalah Kakek Neneknya yang telah pergi. Sekarang Ibunda Winda.

Selama 7 hari, Lingga hadir dalam acara selamatan dirumah Winda. Lingga selalu memberi semangat kepada Winda untuk bisa lebih tabah dan merelakan kepergian Ibunya.



Sehabis acara selamatan, Ayah Winda menghampiri Lingga dan berkata...

“Kamu sudah bekerja Ga...?” tanya Ayahnya Winda.

“Sudah Pak.....” jawab Lingga.

“Bagus....laki laki harus kerja....kenapa kamu engga kuliah saja...”: tanya Ayahnya Winda.

“Engga punya biaya Pak....” Lingga menjawab.

“Ya sudah..asal jangan nganggur ya...” kata ayahnya Winda

“Jagain Winda...” lanjut sang Ayah.


Lingga pun kembali ke pekerjaannya di pabrik rotan. Setelah beberapa lama bekerja di pabrik, akhirnya Lingga memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai karyawan. Lingga mendapat panggilan kerja di perusahaan pelayaran. Lingga berharap ada suatu peningkatan dalam hidupnya di kantor tersebut.

Setelah melewati beberapa kali test, Lingga diterima sebagai karyawan diperusahaan tersebut. Sebuah kebahagian bagi Lingga dapat memilki perkerjaan yang lebih baik, ditambah lagi bahwa sang Ayah telah kembali dan berada ditengah tengah keluarga Linga. Pak Galih telah kembali rujuk dengan Bu Retno.

Sebagai tahap awal, Lingga dipercaya untuk menemani perwakilan perusahaan dari Negara Jepang. Lingga selalu menemani orang Jepang tersebut ke beberapa perusahaan Jepang yang berada di Indonesia. Akhirnya Lingga mulai langsung dipercaya untuk menghandle kegiatan ekspor import salah satu pabrik besar elektronik dari Jepang. Dia mengawasi keluar masuk arus pengiriman barang.

Setelah 1 tahun berselang, Lingga di tarik kembali ke kantornya. Dia di angkat menjadi staff pengurusan dokumen import beberapa customer. Karena Lingga cepat belajar dan mampu bekerja dengan baik, akhirnya Lingga dipercaya oleh Manager perusahaan. Manager tersebut bernama Pak Herman seorang warga keturunan etnis Tionghoa.

“Lingga...tolong selesaikan semua dokumen untuk besok pagi....” perintah Pak herman sang Manager.

“Ok Pak....” jawab Lingga dengan cepat.

“Siap siap pulang malam seperti kemarin kemarin...” lanjut Pak Herman.

“Sudah biasa Pak....” Lingga menjawab sambil tersenyum.

“Setelah selesai...tarus dimeja, saya mau periksa dulu....” kata pak Herman.

Lingga langsung mengerjakan perintah Pak Herman. Hampir setiap hari Lingga pulang malam untuk membuat dokumen. Karena Lingga rajin, Pak Herman tak segan segan memberinya uang extra tambahan untuk pulang.

“Karena sudah larut malam....kamu pulang naik taksi ya ga...” kata pak Herman.

“Ok Pak....” Lingga menjawab.

“Nanti biar lebih irit, kamu saya anterin sampai ujung jalan ya...biar gampang cari taksinya juga...” lanjut Pak Herman.

Setelah semua dokuemn selesai dan ditaruh diatas meja Pak Herman, dia pun memeriksa setiap satu persatu dokumen yang dibuat Lingga. Hari sudah malam, akhirnya  mereka pun pulang.

“Capek banget ya Ga hari ini...” kata Pak Herman.

“ Iya Pak..semua ada 28 dokumen...” timpal Lingga.

“Terima kasih kamu udah mau pulamg malam....” Pak Herman menambahkan.

“Ya...saya  harus kerja yang rajin Pak untuk membiayai hidup keluarga saya...” lanjut Lingga.

“Semoga saja kamu tetap mau bantu saya...semoga juga kareir kamu bagus di kantor ini...” kata Pak Herman sambil tersenyum.

“Saya berharap demikian Pak...” jawab Lingga.

“Ini uang Taksinya....” kata Pak Herman sambil memberi uang Rp 50.000 kepada Lingga.

“Terima kasih Pak....” jawab Lingga. “Saya turun disini saja Pak...” lanjutnya.

“Ok...hati hati dijalan Ga...” sahut Pak Herman.

“Iya Pak...” jawab Lingga sambil meninggalkan mobil Pak Herman.

Setelah Pak Herman pergi, Lingga mencoba mencari angkutan umum malam. Dia berfikir daripada uangnya digunakan untuk ongkos taksi, lebih baik dia naik angkutan umum yang lebih murah. Sisa uangnya bisa diberikan kepada Ibunya. Jadi kan lebih hemat.

Setelah bekerja beberapa tahun, Lingga ditawarkan untuk kerja dilapangan. Tawaran ini disambut baik.

“Lingga...kesini kamu...” panggil Pak Herman.

“Iya Pak....ada apa Pak...?” sahut Lingga.

“Kamu mau belajar kerja dilapangan..biar kamu punya pengalaman yang banyak...” lanjut Pak herman sambil melihat wajah Lingga.

“Kerja Lapangan?..” tanya Lingga sambil mengerenyutkan dahinya.

“Iya..jadi kamu tahu semua proses kerja dilapangan ...kamu kan sudah tahu bagaimana rasanya kerja menjadi staff...” imbuh Pak Herman.

“Ok Pak..saya mau...” jawab Lingga bersemangat.

“Kamu akan memiliki nilai lebih dibanding yang lain.....dan saya yakin kamu bisa...” kata Pak Herman. “Kalau kamu setuju...mulai besok kamu mulai belajar kerja dilapangan....belajar dari pengalaman Pak Nana...” lanjutnya.

Dia pun mulai belajar bagaimana kerja dilapangan dengan seorang karyawan yang lebih pengalaman dan senior di kantor tersebut, karyawan ini bernama Pak Nana. Seorang karyawan berumur 52 tahun yang telah mengabdi selama lebih dari 19 tahun. Pak Nana memilki 5 orang anak. Keponakan Pak Nana yang bernama Jaya juga kerja dikantor yang sama, Dia yang memberikan pengalaman dan cara bagaimana kerja dilapangan.

“Pak Nana..ajarin saya kerja dilapangan ya...” pinta Lingga.

“Kamu bener mau kerja dilapangan...?susah dan tidak gampang lho...” sahut Pak Nana. “Kamu harus punya fisik dan mental yang kuat...” tambahnya.

“Saya mau belajar Pak....” jawab Lingga.

“Ya sudah..besok pagi pagi kamu datang kerumah saya..setelah pulang kerja juga pulang kerumah saya dulu....kamu belajar, biar cepat ngerti...” perintah Pak Nana ke Lingga.

Linggapun mulai merasakan bagaimana sulit dan kerasnya sebagai tenaga kerja dilapangan yang menghadapi banyak orang dan berbagai macam jenis masalah. Tapi Lingga tak pernah patah semangat, dia terus belajar dan terus belajar sehingga akhirnya Linggapun mampu melakukan kerja sendiri.

Setahun Lingga melakukan pekerjaan lapangannya. Setiap saat selesai kerjaan, Lingga selalu dipanggil oleh Pak Herman untuk datang ke kantor untuk berdiskusi dan menemani Pak herman makan malam. Mereka berdua sering jalan dan diskusi mengenai bagai.mana cara mengembangkan kantor. Disinilah awal Lingga mulai belajar banyak mengenai bagaimana caranya memimpin sebuah perusahaan dari Pak Herman.

“Setelah beberapa tahun kamu kerja disini..bagaimana, kamu senang...?” tanya Pak herman ke Lingga.

“Saya senang Pak..apalagi saya berkesempatan menambah ilmu yang Bapak berikan...” jawab Lingga.

“Saya percaya sama kamu...dan saya yakin kamu mampu...” Pak Herman menjawab sambil menhisap rokoknya dalam dalam.

“Terima kasih atas kepercayaannya Pak...” jawab Lingga singkat.

“Saya yakin akan kemampuan dan loyalitas kamu...” lanjut Pak Herman. “Apa yang telah saya ajarkan ke kamu..kamu harus bisa memanfaatkannya Ga...” kata Pak Herman.

“Saya sangat menghargai dan menghormati Bapak....” kata Lingga. “ bagi saya Bapak bukan sekedar pemimpin saya..Bapak sudah saya anggap sebagai teman, sahabat, kakak dan keluarga saya...”lanjut Lingga.

“Kerja yang baik dan benar....kalau butuh apa apa, telepon saya...ok...” kata Pak herman sambil menepuk bahu Lingga.

Lingga sering menerima nasihat dan kiat kiat pengalaman dari Pak Herman yang memiliki jabatan dan pengalaman yang lebih banyak dari Lingga.

Seiring dengan kesibukan Lingga dan kepercayaan yang diembannya, penghasilan dan gaji Lingga pun mengalami kenaikan. Dia selalu memberikan seluruh gaji kepada Ibundanya.

“Ma...ini gaji aku...buat kita hidup dan adik adik sekolah ya...” Lingga berkata sambil memeluk sang Bunda.

“Terima kasih Ga....kamu pegang sisanya buat kamu kerja....” sahut Bu Retno.

“Engga usah Ma...aku masih ada...dari kelebihan dana operasional kerja lapangan...Ibu engga usah perlu kawatir...” jawab Lingga.

Lingga benar benar bekerja untuk keluarganya. 1 benda yang pertama kali Lingga mampu beli dari hasil kerjanya yaitu sebuah sepeda dan radio tape. Begitu senang dan bangganya Lingga mampu membeli barang yang sangat dia inginkan itu. Kehidupan sudah agak membaik bagi keluarga Lingga.

Kondisi keluarganya pun semakin rukun, ditambah lagi dengan kehadiran sang adik bungsu hadir bersama mereka. Adik bungsu Lingga bernama Irma. Lingga sangat sayang dengan adik bungsunya. Begitu besar perhatian Lingga kepadanya. Lingga tidak mau dan selalu berdoa agar adik bungsunya jangan sampai mengalamai pengalamin pahit seperti yang dialami oleh kakak kakak nya dulu.

Pernah suatu kali, sebagai bentuk rasa sayangnya kepada adik bungsunya Irma, Lingga merayakan ulang tahun ke 4 nya di salah satu restoran cepat saji.

“Irma ulang tahun ya...selamat ya dik..” kata Lingga.

“Terima kasih yahhh kak Lingga...” jawab Irma dengan cadel

“Yuk kita jalan jalan...” lanjut Lingga.

Lingga ingin memberikan kejutan kepada adiknya. Sesampainya di restoran tersebut. Lingga mengajak Irma, Sekar, Bagus, Sang Bunda dan 2 temannya.  Feri dan Amir untuk duduk. Seketika sang pramusaji restoran tersebut mengeluarkan kue blackforest besar dengan diiringi musik. Irma begitu kaget dan terkejut

“Kak...ulang tahun aku dirayain ya...?” tanya Irma.

“Ya..ini ulang tahun kamu..kita rayain ya...semoga kamu senang ya...” jawab Lingga dengan memeluk erat tubuh adiknya.

“Terima kasih ya Ga..kamu telah membahagiakan adik mu...” tambah sang Bunda.

Merekapun larut dan bernyanyi untuk merayakan ulang tahun Irma. Begitu senangnya moment ini bagi Lingga. Dia mampu memberikan sesuatu yang indah untuk sang adik.

Selama itu pula, hubungan Lingga dengan Winda terputus. Lingga beberapa kali mencoba menghubungi nomor telepon rumah Winda tapi tidak pernah diangkat. Lingga memutuskan untuk berkunjung kerumahnya. Ternyata Winda dan keluarga telah pindah sejak lama. Didepan rumah Winda terdapat tulisan “Rumah ini mau dijual”. Lingga mencoba untuk bertanya kebeberap tetangga di lingkungan rumah Winda.

“Permisi Pak...keluarga Winda sudah pindah ya...” tanya Lingga kepada tetangga disamping rumah Winda.

“Oh iya...sudah pindah...setahun setelah Ibunya meninggal deh kayanya...” jawab Bapak itu.

“Pindah kemana ya Pak..” tanya Lingga lagi.

“Oh..saya engga tahu alamat pastinya....” timpal Bapak itu lagi.

“Apa Bapak memilki nomor telepon rumahnya yang disana...” tanya Lingga dengan penasaran.

“Saya juga engga punya nomor teleponnya....” jawab Bapak itu.

‘Terima kasih deh Pak...” sahut Lingga dengan lunglai.

Dia begitu bingung dan hatinya bertanya tanya.....”gimana kabarnya Winda?tingga dimana dia? apakah dia baik baik saja?”. Lingga berharap bisa bertemu dan berkumpul lagi dengan sahabatnya itu. Sahabat yang baik dan berkesan buat dia. Sahabat yang dulu pernah menolong kehidupannya.


Ketika Lingga pagi pagi tiba dikantornya, Pak Chris salah satu karyawan yang bekerja di kantor memberi tahu Lingga.

“Ga...tadi ada yang telepon perempuan...nanyain kamu....ini dia ninggalin nomor telepon...” kata Pak Chris.

Lingga melihat nomor telepon yang tertulis disecarik kertas yang ditulis Pak Chris. Ternyata itu nomor telepon rumahnya Winda. Senang bercampur heran Lingga menerimanya.

“Itu pacar kamu ya....?” tanya Pak Chris sambil tersenyum.

“Bukan Pak...ini sahabat saya...sudah lama kita engga bertemu....terima kasih Pak...” jawab Lingga bersemangat.

“Ah...kalau pagi pagi telepon...pasti itu dari pacar...” canda Pak Chris.
“Bukan Pak...” sahut Lingga sambil tertawa.


Lingga pun langsung menelon rumah Winda.

“Hallo...Asallammualikum....Windanya ada...?” tanya Lingga berhati hati.

“Lingga...ini aku, Winda...apa kabar kamu...?” Winda menjawab di telepon.

“Win....gimana kabar?Bapak?keluarga?.....” tanya Lingga dengan senang.

“Aku & keluarga baik baik saja....kamu kerja dimana?” tanya Winda.

“Aku sekarang kerja di shipping company....bisa ketemuan hari ini?” lanjut Lingga.

“Bisa..aku tunggu dirumah ya...” jawab Winda.


Sepulang kerja. Lingga pun bergegas pergi menuju rumah Winda.

“Asallammualikum....” Lingga memberi salam.

“Waalaikum salam....” sahut Winda dari dalam rumah.

Merekapun tertawa dan berpelukan. Sudah sekian tahun mereka tidak bertemu. Rasa kangen diantara mereka begitu besar. Hubungan persahabatan yang dulu sempat terputus sekarang kembali terjalin lagi.

“Sekarang tinggal dimana...?’ tanya Lingga ke Winda.

“Aku di Bekasi...Ibu dan adik adik kamu gimana kabarnya...?” tanya Winda.

“Kabar keluarga ku baik baik saja...ayah ku sudah kumpul kembali...” sahut Lingga.

“Bagus dong....” sahut Winda denga tersenyum. Winda ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan Lingga.

“Duh.....kangen aku sama kamu...” lanjut Winda.


Merekapun saling bercerita. Mereka menumpahkan semua rasa kerinduan mereka. Mereka habiskan waktu berdua dengan bercerita kehidupan yang selama ini mereka lalui. Lingga begitu senangnya .

“Akhirnya aku menemukan kembali sahabat terbaik ku...” seri Lingga dalam hati.


Lingga & Winda begitu bahagianya bisa bertemu kembali. Merka makan malam bersama.

“Dulu kamu yang bayarin aku kalo makan di kantin sekolahan...sekarang giliran aku...” kata Lingga.

“Iya deh...mentang mentang udah kerja dan punya gaji...” sahut Winda manja.

“Kamu kuliah dimana...?” tanya Lingga ke Winda.

“Aku kuliah disalah satu universitas swasta di Jakarta...kamu jemput dong...’ kata Winda.

‘Boleh..aku pasti jemput kamu....” jawab Lingga bersemangat,\.

“Betul ya..kamu mau jemput aku.....” sahut Winda.

“Iya..tapi naik bis ya....’ jawab Lingga sambil tertawa.

“Iya engga apa apa......” Winda menjawab cepat.

“Kan kamu biasa naik mobil...nanti pingsan lagi...” canda Lingga  mencoba menggoda Winda.

“Idih..masih aja kaya di SMA..sukanya gangu godain aku...” sahut Winda sambil tersenyum.

Winda untuk beberapa hari akan selalu datang ke rumahnya sambil menunggu orang yang ingin membeli rumahnya. Dan selama itu pula, Lingga sehabis pulang kantor selalu menjemput Winda di tempat kuliahnya dan mengantarnya kerumah. Rumah itupun akhirnya terjual.

“Kamu datang ya kerumah aku yang di Bekasi...” kata Winda.

“Insya Allah aku datang...” Lingga menjawab.

“kamu tetap mau jemput aku kuliahkan...?’ tanya Winda.

“Ya iyalah..aku akan jagain kamu.....” Lingga menjawab dengan semangat.

“Kita harus tetap ketemuan..jangan terputus seperti dulu lagi.....” pinta Winda ke Lingga.

“Iya..aku engga mau kehilangan sahabat lagi...” jawab Lingga sambil memegang tangan Lingga.


Dari hari kehari hubungan mereka semakin dekat. Lingga pasti menjemput Winda sepulang dari kantornya. Mereka sering jalan, makan malam dan nonton bersama. Lingga juga sering mengajak Winda ke rumah orang tua angkat Lingga.

Orang tua angkatnya bernama Om Ilham, seorang duda yang tinggal hanya berdua dengan anak laki lakinya yang bernama Andri. Lingga tinggal dirumah orang tua angkatnya agar tetap dekat jika ingin pergi ke kantor, karena keluarga Lingga sendiri sudah pindah ke Bogor akibat gusuran. Dia tinggal disini berbarengan dengan teman teman nongkrong lainnya.

“Win..kenalkan..ini Om Ilham...” kata Lingga.

“Winda....” sahut Winda sambil memperkenalkan dirinya.

“Oh..Lingga sering tidur disini, biar deket kalau kerja....yah beginilah rumah Om...kebanyakan laki lakinya...” sahut Om Ilham sambil menggaruk garuk kepalanya.

“Sering sering kemari ya Win..jadi bisa masakin kita makanan enak...” lanjut Om Ilham.

“Nah..ini teman teman aku..kenalkan...ini Winda...” Lingga berkata kepada teman temannya.

“Saya Winda...” kata Winda sambil mengulurkan tangannya kepada teman teman Lingga.

“Itu Andri anaknya Om Ilham....yang jerawatan itu namanya Amir...yang kecil pendek pakai anting itu namanya Feri...yang mukanya sangar itu namanya Toto...yang dagunya panjang namanya Yadi... yang kurus itu Jilly...kalau yang gondrong itu namanya Andre...itu yang logat madura namanya Eeng... nah yang gendut sipit itu namanya Miming...dan ini yang paling kecil...namanya Aceng...” Lingga menjelaskan kepada Winda.

Sering sehabis kuliah Winda datang kerumah Om Ilham sambil menunggu Lingga pulang kerja. Teman teman Lingga begitu menyayangi Winda karena Lingga berpesankepada mereka untuk selalu menjaga Winda jika dia belum pulang dari kerja.

“Ceng...ada Mba Winda tuh...tawarin minum sana...” seru Andre ke Aceng.

“Mba Win...mau minum apa...?” tanya Aceng.

“Engga usah repot repot Ceng...” Winda menjawab sambil membaca majalah.

“Jangan begitu Mba..nanti saya diomelin Bang Lingga...dia pesan kalo Mba Win datang untuk disediakan minuman...” jawab Aceng sambil sedikit cemberut takut diomelin Lingga.

“Engga usah..bias nanti saya yang bicara ama Lingga ya Ceng...” jawab Winda sambil memegang bahu Aceng.

Setiap Winda datang kerumah Om Ilham, teman teman Lingga begitu senang dengan kehadirannya. Winda tak segan segan mengeluarkan uang untuk membelikan mereka makanan dan rokok. Semua teman Lingga begitu menghormati Winda.

Suatu saat Winda datang bertepatan dengan kepulangan Om Ilham dari kantornya. Lingga pada saat itu belum pulang dari kantornya.

“Wahhh...ada Winda ya...” om Ilham berkata dengan senang.

“Win..coba kamu ke pasar...beli makanan apa kek..kamu masak deh...” seru Om Ilyas sambil memberi Winda beberapa lembar uang untuk belanja ke pasar.

“Tuh ada si Miming...minta anterin ama dia ke pasarnya “ lanjut Om Ilham.

“Emang mau masak apaan Om?’ tanya Winda.

“Yah terserah kamu aja....dari pada anak anak yang masak....rasanya kaga karuan...” kata Om Ilham sambil tertawa, teman teman Lingga pun semua ikut tertawa.

‘Ayo Mba Win...saya anterin ke pasar naik motor saya...” ajak Miming ke Winda.

“Ayo deh...jangan ngebut ngebut ya...” pinta Winda.

Setibanya dipasar, Winda di temani Miming belanja beberapa kebutuhan pokok yang akan dimasak nanti. Setelah selesai berbelanja, mereka pun pulang ke rumah Om Ilyas.

“Mau masak apaan Mba Win...” tanya Aceng.

“Mau masak capcay, ayam kluyuk dan udang goreng tepung....bantuain Mba motongin sayurnya ya Ceng..” jawab Winda sambil menyerahkan sayuran ke Aceng.

“Wuih...makan enak nih kita semua hari ini...” sambut Aceng dengan semangat.

“Eh..Mba Win lagi masak ya....?” tanya Jilly yang baru saja datang.

“Iya Bang Jilly...kita makan enak deh hari ini...” jawab Winda sambil memotong sayuran.

“Asyik....kaga sia sia si Lingga punya teman dekat seperti Mba Winda...” Amir menambahkan.

“Ah elu Mir...jangan lu godain .. di kepruk nanti ama si Lingga .. baru tau rasa lu...” sergah Jilly.

“Jil...kaga ngegodain gue sih...kan bercanda..ya Mba Win...” sanggah Amir dengan muka memelas ke Winda.

“Udah udah...jangan pada ribut...bantuan masak aja....” kata Winda.

“Masak yang enak ya Mba Win....” kata Andre sambil memainkan gitarnya.

“Eng...lu mending beli es dulu buat minum kita....daripada lu bengong” seru Jilly ke Eeng yang dari tadi diam bengong ngeliatan makanan yang sedang dimasak.

“Iya iya...ganggu orang lagi ngiler aja lu Jil...” sahut Eeng dengan sedikit kesal.

“Nah tu si Yadi dateng...” kata Feri yang dari tadi membantu memotong ayam.

“Wessssss....ada Mba Win ya...weyyyyy...masak nih...mantap....” kata Yadi dengan gaya tengilnya.

“Iya Bang....nanti makan masakan  Winda ya...” jawab Winda.

“Wesssss...pastinya....jarang jarang makan makanan enak....” sahut Yadi.

“Si Andri kemana...?belum pulang kuliah dia...?” tanya Yadi ke Feri.

“Belum...nanti jam 5 an juga sampe tuh anak...” jawab Feri dengan singkat.

“Ceng..siapain meja ya...” seru Winda.

“Eh..tuh si Lingga datang...” kata Yadi. “Ada Winda tuh didapur..disuruh Om Ilham masak dia....temen lu boleh juga , jago masaknya....” lanjut Yansen.

‘Eh Win...kapan datang..?” tanya Lingga. “Terima kasih loh kamu mau bikinin kami masakan...” lanjut Lingga.

“Dari jam 2 aku udah disini....iya nih masakin buat teman teman kamu dan Om Ilham..” jawab Winda sambil tersenyum


Selang beberapa jam makanan sudah matang. Winda mempersiapkan hidangan dengan rapi di atas meja.

“Sudah matang makanannya Win...?” tanya Om Ilham sambil mengucek ngucek matanya yang ngantuk. “Wow....udah matang toh...” lanjut Om Ilham dengan sedikit kaget.

“Eittt...berdoa dulu semuanya....” seru Om Ilham.

“Silahkan Om...” seru Winda sambil menyerahkan piring dan menuangkan nasi untuk Om Ilham.

“Makasih ya Win...” jawab Om Ilham. “Mantap..enak juga masakan kamu Win...” lanjut Om Ilham sambil menyantap makanan.

“Anak anak....sikat....” kata Om Ilham.

“Siap...” jawab mereka kompak.

Winda hanya bisa tersenyum melihat Om Ilham,Lingga & teman tamannya berebut makanan. Dengan tingkah polah sekumpulan laki laki yang engga pernah menikmati masakan rumah . Sedikit tertawa dalam hati melihat kekonyolan mereka. Winda pun bergabung makan bersama dengan mereka.

“Win...terima kasih ya....” Lingga berkata.

“Iya....” sahut Winda sambil tersenyum.

“Udah..kamu berdua udah cocok tuh...pacaran aja...ngapain lagi cuma temanan doang...” tiba tiba Om Ilham nyeletuk dan disambut dengan tawa teman teman Lingga.

“Betul tuh... betul....” jawab mereka kompak.

“Jodohin aja tuh Pah...” kata Andri menimpali sambil mulutnya mengunyah makanan.

“Om...kita cuma temanan...” sanggah Lingga & Winda.

“Iya...sekarang temenan...nanti lama lama...pacaran deh...” canda Om Ilham yang disambut gelak tawa teman teman Lingga.

Lingga & Winda hanya bisa tersenyum mendengan gurauan Om Ilyas. Dalm hatinya, Lingga berkata “Bener juga....tapi apa ya bisa gue pacarana ama Winda...”.

Persahabatan mereka berdua semakin lama semakin akrab. Lingga selalu menjemput Winda pulang kuliah dan mengantarkannya pulang. Selama mengantarkan Winda pulang kerumahnya, Lingga belum pernah mampir untuk bertemu keluarga Winda. Bagi Lingga, sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertemu. Lingga masih trauma dengan Bapaknya Winda. Meski demikian, persahabatan mereka tetap terjalin. Terlebih setelah sepeninggalan Ibunya Winda, Lingga berjanji akan selalu menjaga Winda.

Suatu hari setelah Lingga pulang dari kantor, dia melihat teman temannya sedang berkumpul bermain gitar didepan rumah Om Ilham.

“Baru pulang lu ga....?” tanya Feri.

“Iya....pada ngumpul nih....” balas Lingga.

“Yoi....membunuh waktu aja....’ sahut Jilly dengan enteng.


Lingga pun bergabung bersama dengan teman temannya.

“Ga....kalo gue pikir pikir.....lu udah lama kaga pacaran....” kata Yadi. “Mending lu pacarin aja si Winda..orangnya baik, cantik, pintar dan jago masak lagi...” lanjut Yadi.

“Iya Ga...pacarain aja...” tambah Feri, Eeng, Jilly, Andri dan kawan kawan lainnya.

“Gila ya lu lu pada...mana mungkin. Dia tuh sahabat gue....mana mungkin gue pacarain...” sanggah Lingga.

“Tapi lu sendiri...cinta kaga ama dia...?” tanya Jilly.

Lingga tidak bisa menjawab. Sekejap dia terdiam memikirkan pertanyaan Jilly.  Dia pun bingung dengan apa yang dia rasakan. Lingga bingung anatara sayang atau cinta kepada Winda. Selama ini dia sayang dengan Winda sebagai teman dan sahabat. Kalau cinta, Lingga masihg bingung.

“Kaga tau deh Jil....kalau sayang iya..dia kan sahabat gue...” jawab Lingga.

“Mending lu tembak aja si Winda..bilang cinta deh ke dia...” kata Yadi.

“Iya..lu ngomong aja...dari pada sendiri terus...” imbuh Eeng.

“Gue setuju...nanti gue siapain acaranya deh biar romantis...” kata Andri anak Om Ilham dengan semangat.

“Gila lu pada ah...ngaco...” jawab Lingga sambil menghisap rokoknya dalam dalam dan meninggal mereka. “Gue kedalem dulu...mau mandi...”lanjut Lingga sambil meninggal mereka.

“Woi....nanti lu balik lagi ya kesini....!” kata Jilly.

“Iya .. Iya....bawel lu ah...” jawab Lingga.

Lingga pu mandi. Sambil mandi Lingga berpikir soal omongan teman temannya. Apa yang harus diperbuatnya nanti. Apakah dia harus bilang cinta atau tetap berteman saja dengan Winda. “Kalu diterima sih enak...kalau kaga...jiah..malu deh gue...” kata Lingga dalam hati. “Bisa bisa rusak deh persahabatan gue...” lanjut Lingga dalam hati.

“Gimana Ga.....?” tanya Amir melanjutkan percakapan mereka tadi.

“Ah..kaga tau ah...lu pada ngaco...” jawab Lingga sambil menjitak kelapa Feri.

“Kalo gue liat sih...Winda kayanya punya perasan cinta deh ke lu...” kata Andri menyemangati.

“Kalaupun dia bener cinta dan jadi pacaran ama lu...kita kita kan jadi seneng ada yang masakin makanan...betul kaga???” seru Amir.

“Ada yang beliin kita rokok....” tambah Aceng & Feri.

“Gue ada temen kalo gue lagi main gitar....” imbuh Toto menimpali.

“Huhhhhhh......” seru mereka ramai ramai sambil menjitak kepala Toto.

“Udah deh...jangan kelamaan...nanti disamber orang lain baru tau rasa lu...” kata Feri.

“Nanti dogondol kucing....” timpal Miming sambil tersenyum.

“Tapi kalo ditolak gimana......?” tanya Linga.

“Soal ditolak atau diterima...itu sih urusan nanti...kaga usah dipikirin...yang penting lu punya keberanian apa kaga...itu yang penting....” tambah Andri.

“Kalo ditolak....ya derita lo...!!!!!” jawab mereka dengan kompak.

“Brengsek lu.,.....” Lingga menjawab dengan kesal.

“Lah...lagian lu kaya cemen aj.,..belum juga ngomong udah takut duluan...” Jilly berkata.

“Lu coba dulu ga...jangan cemen gitu.....” tambah Yadi.

“Caur lu ah Ga....” Amir menimpali.

“Iya deh.,.tapi gue pikir pikir dulu ah...” Lingga menjawab singkat.


Lingga benar benar tak dapat memejamkan matanya malam itu. Dia masih menimbang nimbang saran yang diberikan teman temannya. Lingga tak mau kehilangan Winda. Dia takut kalau Winda menolak dan akhirnya merusak hubungan persahabatan mereka.

Kebetulan besoknya hari sabtu, Lingga pulang kerumah orang tuanya di Bogor. Disana dia bertemu dengan Ibu, Ayah dan adik adiknya. Lingga pulang ditemani Feri & Jilly temannya.

“Ma...apa kabar? Mana adik adik?Ayah?” tanya Lingga ke Ibunya.

“Baik...adik mu sehat semua...ayah mu belum pulang kerja...sebentar lagi juga sampai...” jawab Ibunya. “Sama siapa kamu datang...?” tanya Bu Retno.

“Itu ..sama Feri... sama Jilly” jawab Lingga.

“Feri...Jilly...masuk sini...” kata Bu Retno.

“Iya Bu....” jawab Feri & Jilly kompak sambil mencium tangan Bu Retno.

“Sekar, Bagus, Irma......” Lingga memanggil adik adiknya. “ini Kakak bawakan buah ama kue donut....” lanjut Lingga.

“Hore...terima kasih...” jawab mereka dengan kompak.

“Sudah makan kamu? Tuh Ibu masakin soto....” kata Bu Retno.

“Sudah tadi.....”jawab Lingga.

“Ga...gue masih laper...” kata Feri sambil bebrbisik ketelinga Lingga.

“Ya udah...lu makan lagi aja sono...” jawab Lingga.”Dasar...kermian lu ya....” lanjut Lingga.

“He he he...” Feri hanya tertawa.

“Ma...Feri mau makan tuh...” Lingga berkata ke Ibunda.

“Gue juga Ga...” sahut Jilly sambil pasang muka begonya

“Ya udah Fer...ambil sendiri sana...kamu juga Jilly....” jawab Bu Retno.

“Eh iya Bu....” Feri & Jilly menjawab malu malu.

“Selesai makan...kita ke sungai Ga....mantap....” timpal Jilly dengan semangat.


Selesai makan, Lingga dan temannya serta adik adiknya beranjak pergi menuju sungai yang berada tak jauh dari rumah Lingga. Air kali saat ini cukup deras dan dingin. Jilly & Feri kegirangan melihat air kali yang deras. Mereka pun terjun mandi di sungai untuk menikmati airnya yang sejuk kala itu. Selesai mandi, Jilly melinting ganja yang dibawanya.

“Ga...gue bawa ganja nih...mau kaga...?” Jilly berkata dengan pelan.

“Ya udah...suruh feri ngelingnya...” sahut Lingga.

“Fer..lintingin nih....” seru Jilly.

“Sini.....” sahut Feri.

“Kalo udah jadi...lu ke batu besar itu ya...kita ngisep diatas batu itu...kayanya enak tuh...” kata Jilly sambil meninggalkan Feri sendirian di tepi sungai.

Selang beberapa menit Feri menyusul Lingga & Jilly yang sudah berada di atas batu besar ditengah sungai.

“Nih..udah jadi....bakar dulu nih Jil...” kata Feri

“Sini gue bakar duluan....” Jilly menjawab sambil membakar lintingan ganja itu dan menghisapnya dalam dalam.

“Ga....nih....” kata Jilly sambil menyerahkan lintingan tersebut ke Lingga.

“Ini bakal gue tinggalin....kalau Winda terima cinta gue....” kata Lingga dalam hati sambil menghisap dalam dalam.

“Fer....suruh Sekar, Bagus ama Irma jauh jauh dulu....” seru Jilly.

“Anterin mereka pulang ke rumah dulu Fer...” tambah Lingga.

“Iya ... iya....” sahut Feri.

Selang beberapa menit, Feri kembali bergabung bersama Lingga & Jilly. Mereka semakin asyik menikmati ganja yang mereka hisap. Feri bercerita mengenai kondisi keluarganya yang berantakan dan Jilly menceritakan keinginannya untuk menjadi seorang polisi.

“Mimpi kali lu ya....mau jadi polisi malah ngisep ginian...” canda Lingga.

“Jiah..kan gue akan berhenti kalo gue mau ikut ujian masuk....” sanggal Jilly.

“Nanti lu tankepin bandar bandarnya ya...jangan gue lu tangkep...” kata Feri yang mulai teler dan ngawur omongannya.

“Kaga lah....semoga kita bisa berhenti dari semua ini...” lanjut Jilly sambil menghisap asapnya dalam dalam.

Malam telah larut, semua orang sudah tidur semua. Lingga tidak bisa tidur malam itu. Dibarengi udara kota Bogor yang dingin dan sejuk saat itu, Lingga menatap malam yang penuh bintang. Dia terdiam sambil menatap awan. Dia masih bingung soal usul teman temannya.

“Ada apa Ga...kok belum tidur...?” tanya Sang Bunda.

“Engga ada apa apa...” jawab Lingga mencoba menyembunyikan.

“Engga biasanya kamu begini...coba cerita ke Mama...” jawab Bu Retno sambil mengusap wajah anaknya.

Linggapun menceritakan permasalahannya. Ibunya dengan sabar mendengerkan setiap kata yang terucap dari mulut Lingga.

“Ya sudah...kamu coba aja...lagian kamu juga belum pnuya pacar...” perintah Ibunda nya.

“Apalagi kamu juga kenal dan bersahabat sejak dulu waktu SMA...” tambahnya lagi.

Lingga hanya terdiam mendengar perkataan Ibunya. Semua mendukung Lingga untuk mengatakan cinta kepada Winda. Tapiu Lingga belum yakin akan keputusannya. Dia masih memerlukan waktu untuk memberanikan diri untuk menyatakan cintanya ke Winda.

Hari minggu Lingga pulang dari rumah. Dia berpamitan dengan keluarganya.

“Jaga dirimu baik baik....jangan lupa, bilang cinta ke Winda” Bu Retno berkata sambil tersenyum.

“Iya Ma..doakan saja...Lingga pulang dulu....” jawab Lingga sambil berpamitan.

Setelah berpamitan. Lingga, Jilly & Feri pun bergegas meninggal rumah untuk pulang ke rumah Om Ilham. Selama diperjalanan, Lingga bertukar pikiran dengan Feri. Sedangkan Jilly sudah tertidur pulas semenjak naik bis.

“Ya udah...bilang aja...” kata Feri.

“Gue pikir pikir dulu deh...Ibu gue juga nyuruhnya begitu...” Lingga menjawab.

“Tuh..apalagi Ibu lu mendukung...enak kan...” tambah Feri.

“Iya sih...’ jawab Lingga sambil menatap keluar jendela bis yang mereka tumpangi.


Seminggu kemudian, ada acara reuni teman SMA Lingga dirumah salah satu temannya. Dia & Winda janjian untuk datang bareng berdua ke acara tersebut.

“Ga....nanti jemput aku di tempat kuliahan ya...” pinta Winda.

“Ya sudah....aku setalah pulang daari kantor...aku jemput kamu...” jawab Lingga di telepon.

“Ok...sampai ketemu ya...” jawab Linda.

Sehabis pulang kantor, Lingga pun menjemput Winda di kuliahannya.

“Yuk kita berangkat....” kata Lingga ke Winda.

“Ayu....kita naik taksi aja ya...” jawab Winda.

“Terserah kamu aja...nanti pingsan lagi kalo naik bis...” jawab Lingga sambil menggoda Winda.

“Ih..kamu tuh...tetap aja engga berubah suka godain aku...” jawab Winda sambil mencubit pinggang Lingga.

“Aduhhh sakit...” Lingga menjerit sambil tersenyum.

“Sukurin....” sahut Winda dengan kesal.


Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya ada taksi yang lewat. Mereka pun naik kedalam taksi dan pergi menuju kerumah temannya. Selang beberapa jam kemudian, mereka pun tiba. Disana sudah banyak teman teman Lingga yang sudah datang terlebih dahulu.

“Tuh kan....woi...kok lu bisa datang kompak berduaan...?” tanya Sofyan salah satu teman SMA mereka bertanya sambil memeluk tubuh Lingga.

“Gue jemput Winda dulu tadi...kita janjian datang bareng...” jawab Lingga.

“Jangan jangan lu pacaran ya...” tanya Sofyan sambil tertawa.

“Gila lu ya...” jawab Lingga sambil menjabat erat tangan Sofyan, karena sudah lama mereka tidak bertemu setelah lulus SMA.

“Wei...Lingga datang nih....bareng Winda...” kata Sofyan ke teman teman lainnya.

“Cie cie....kompak nih ya datang berdua...” kata Ardi.

“Ah lu....apa kabar lu?” tanya Lingga ke Ardi.

“Baik....” jawab Ardi. “ Eh Winda....apa kabar?” lanjut Ardi.


Suasana semakin ramai setelah kedatangan mereka berdua. Semua saling melepas kangen dan bercerita masa masa indah mereka waktu dulu di SMA.

“Eh Ga...lu pacaran ya ama Winda....?” tanya Windu teman SMA nya dulu.

“Engga kok...” jawab Lingga singkat.

“Lu kan dari dulu perhatian banget ama dia...pingsan aja elu yang anterin dia pulang...eh sekarang masih juga...” lanjut Windu.

“Namanya juga teman...ya harus begitu...” jawab Lingga denga diplomatis. “kalau perlu..lu juga gue jemput kalo pulang kuliah deh...” lanjut Lingga sambil tertawa.

“Dasar lu...jago kalo ngeles...” Windu menyahut.

Malam pun tiba, sebagian dari mereka sudah ada yang pulang terlebih dahulu kerumah masing masing. Lingga, Winda dan beberapa teman lainnya masih asyik ngobrol.

“Beneran nih lu berdua kaga pacaran...?” tanya Sofyan.

“Gila lu ya...masih penasaran aja....” jawab Lingga.” Lu tanya aja langsung ke Winda...” lanjutnya lagi.

“Beneran lu kaga pacaran Win...?” tanya Sofyan ke Winda.

“Ya engga lah Bang Sofyan...” Winda menjawab.

“Bukan begitu...Si Lingga tuh aktor watak...jago kamuflase....ya kan...?” Sofyan menjawab.

“Betul....lu kan jago nyamar...” tambah Ardi menimpali.

“Ya udah terserah....yg jelas gue kaga pacaran ama Winda...ya kan Win...?” jawab Lingga sambil meminta dukungan dari Winda.

“Lagian kalo lu berdua pacaran engga apa apa kok...” Budi teman sebangku waktu SMA menambahkan.

“Iya....cocok lagi...” kata Ucu teman SMA dulu.

“Yah...lu pada ngomporin deh....” protes Lingga.

“Udah...pacaran aja....” imbuh Ardi.


Lingga & Winda hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan dari teman teman SMA dulu. Mereka berdua heran atas semua pertanyaan dan dugaan yang dilontarkan teman temannya. Lingga tak mampu lagi menjelaskan 7 menyangkal tuduhan tersebut.

“Udah ah...gue balik ya...gue mau anteriun Winda pulang dulu....” kata Lingga menutup pembicaraan.

“Tuh....pake acara nganterin pulang....pacaran deh lu pasti berdua...’ kata Sofyan.

“Terserah elu deh bro...’ jawab Lingga.

“Ya udah..mungkin sekarang engga pacaran..tapi besok besok pasti lu berdua bakal pacaran...” Emil teman SMA menimpali.

“Hahahahahhaha....” Lingga & Winda tertawa.

“Ya udah..gue ber dua balik dulu ok...kontak kontak ok....” loanjut Lingga.

“Ok...take care Bro...” jawab Ardi sambil memeluk Lingga.

“Lu juga Bro...” jawab Lingga.

“Kalo lu berdua jadian..kabarin kita ya....” Sofyan coba menggoda lagi.

“Iyeeeeeeeeeeee...........” jawab Lingga dari dalam taksi.


Selama diperjalanan Lingga & Winda membahas sambil tertawa mengulas pembicaraan dari teman teman mereka. Terbesik dalam hati Lingga apakah ini benar benar suatau tanda bahwa dia harus bilang cinta ke Winda. Lingga menatap wajah Winda yang terlihat letih. Winda menyandarkan wajahnya ke bahu Lingga. Tanpa disadari, Lingga mengelus elus kepala Winda. Terlihat benar wajah letih Winda yang mulai terpejam tertidur bersandar ke bahu Lingga.

“Seandainya dia benar benar mau menerima dan menjadi pacar ku...” Lingga berkata dalam hati. “Aku sayang sama dia...” tambahnya lagi dalam hati.



\Sejam kemudian...

“Win..bangun yuk...sudah sampai...” Lingga berkata dengan berbisik.

“Oh....maaf ya Ga..aku ketiduran...” jawab Winda sambil mengusap matanya. “Mampir kerumah yuk...biar kamu bisa ketemu Ayah dan adik kakak aku...mau ya...?” pinta Winda.


Lingga akhirnya untuk pertama kali  masuk untuk mampir ke rumah Winda. Disini Lingga akhirnya bertemu dengan ayah Winda yang bernama Pak Prabu dan kakak adiknya Winda.

“Pak...apa kabar...? “ kata Lingga sambil mencium tangan Pak Prabu.

“Baik Ga...kamu gimana kabarnya..?sudah lama ya engga ketemu...” kata Pak Prabu menanggapi.

“Alhamdulillah baik Pak....iya sudah lama.....” timpal Lingga.

“Habis dari mana kalian...?” Pak Prabu bertanya.

“Dari acara reuni SMA Pak...” jawab Lingga singkat.

“Eh Ga..apa kabar kamu...?” Mba Tika kakak sulung Winda bertanya. “Sudah lama ya engga ketemu...terima kasih sudah mau anterin Winda pulang...” lanjutnya lagi.

“Baik Mba.....iya udah lama ya....Mba Amira dan Hilda mana...” tanya Lingga ke Mba Tika.

“Mereka lagi pada di dapur...bikin minuman...” sahut Mbak Tika.

Selang beberapa lama Mba Amira kakak ke dua  dan Hilda adik bungsunya Winda datang dengan membawa minuman.

“Ini Lingga kan?....apa kabar...” tanya Mba Amira. “Kerja dimana Ga sekarang?apa kuliah?” tanyanya lagi

“Baik Mba... saya kerja di shipping company Mbak...engga kuliah” jawab Lingga.

“Keluarga mu gimana kabarnya...?” tanya Pak Prabu ke Lingga.

“Mereka baik baik saja Pak....” Lingga menjawab singkat.

“Gimana pekerjaan kamu...?” lanjut Pak Prabu.

“Lancar Pak...yah biasalah kalau bagian operasional lapangan....banyak tantangan dan masalah...” Lingga menjawab.


Pertemuan pun berlanjut membicarakan masalah yang lain. Obrolan terus bergulir diataran mereka semua. Lingga meras nyaman karena bentuk sikap yang baik dari Pak Prabu, apalagi dengan kakak adiknya Winda. Lingga semakin menrasa nyaman berada ditengah trenagh kehidupan mereka. Tapi tetap saja Lingga belum memilki keyakinan untuk mengatakan cinta ke Winda.

Malam jam 9, akhirnya Lingga berpamitan untuk pulang.

“Pak .. saya pulang dulu...” Lingga berkata sambil mencium tangan Pak Prabu.

“Yo wis...hati hati kamu...kerja yang baik....jangan mabok mabokan lagi...” sahut Pak Prabu. “Apalagi nanti kan kamu pasti akan menikah... engga baik dong kalau masih begitu...” lanjut Pak Prabu mencoba untuk menasehati.

“Iya Pak...” jawab Lingga.

Winda menemani Lingga ke pinggir jalan untuk menunggu taksi yang lewat. Sambil menunggu, mereka berdua saling bicara....

“Win...ternyata Bapak mu sudah bisa menerima baik kedatangan aku...” kata Lingga.

“Aku lah harusnya berterima kasih...kamu udah mau anter aku pulang...jemput aku kuliah....jagain aku..ngenalin aku ke teman teman kamu...aku seneng...” sahut Winda dengan tersenyum.

“Kan udah bertemu dengan ayah..udah engga takut lagi dong...?” Winda mencoba mengoda Lingga. ‘Kan ayahku bukan macan...’ lanjutnya lgi.

“Iya...tapi tetep aja serem....” jawab Lingga sambil tertawa. “Kalau kamu mau...aku mau ajak kamu nonton jazz di Ancol...malam sabtu nanti....” lajut Lingga.

“Ehm.......gimana ya...” kata Winda sambil berguman.

“Kalau engga mau..ya engga apa apa....” sahut Lingga dengan lemas.

“Idih...aku kan belum menjawab...kok udah pesimis gitu sih....” jawab Winda. ‘Aku mau kok....” lajut Winda sambil memegang tangan Lingga.

“Betulan nih mau....nanti pingsan lagi disana....” jawab Lingga sambil menggoda.

“Iya aku mau...tapi kamu jangan godain aku lagi....” Winda menjawab dengan manja.

“Ok...Malam satu kita janjian ketemu...aku jemput kamu setelah pulang kuliah....ok...?” jawab Lingga dengan semangat.

“Ok....emang ada apa sih...kok tumben mau ngajak nonton jazz...?” tanya Winda ke Lingga.

“Engga ada apa apa...yah aku cuma mau ajak kamu aja.....bosen nonton ama jalan jalan ke mall doang....” Lingga berusaha untuk berkilah.

“Pokoknya aku mau bicara sesuatu aja ke kamu...” lanjut Lingga.

“Ngomong aja sekarang...ada apa sih...?” sahut Winda dengan penasaran.

“Ya engga seru dong kalo ngomong disini....” kata Lingga sambil tertawa.

“Ya sudah..ada taksi tuh...aku pulang dulu...sampai ketemu sabtu malam ya...” kata Lingga.”Kalau aku engga sempet jemput kamu pulang kuliah, kamu ke rumah Om Ilham aja ya...” pesan Lingga ke Winda sambil memegang tangannya.

“Iya....bawel ah....” jawab Winda sambil tersenyum.

“Aku pulang dulu...” jawab Lingga sambil mencium kening Winda.

“Hati hati....” Winda menjawab pelan.





Hari senen, Lingga memulai rutinitas pekerjaannya. Kesibukan mulai datang dan menyita waktunya. Seperti biasa, Pak Herman selalu meminta Lingga untuk kembali ke kantor setelah pekerjaan selesai.

“Ga...ada pekerjaan untuk kamu nih...semoga kamu bisa...” Pak Herman berkata sambil menyerahkan dokumen.

“coba aja dulu Pak...saya akan usahakan deh...” Lingga menjawab sambil melihat lihat dokumen itu.

“Kalau bisa keluar....kamu tenag aja deh, pasti ada bonus...berapa hari kira kira bisa keluar?” tanya Pak Herman. “Saya janji sama customer 1 bulan pasti barang bisa keluar...” lanjutnya lagi sambil menatap Lingga.

“Saya usahakan 2 minggu bisa keluar Pak...” Lingga menjawab dengan yakin.

“Bagus....saya percaya sama kamu Ga.....”


Malam itu Lingga dipanggil oleh Pak herman karena ada satu pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus. Ada proyek pindahan mesin pabrik ke Indonesia.  Karena jumlahnya yang sangat banyak, maka pekerjaan itu memerlukan energi dan harus kejar target sesuai permintaan importir.

Keesokan hari, Lingga sudah memulai pekerjaan dan memproses semua perijinan dokumen tersebut. Semua Lingga lakukan dengan sangat terkordinasi dan rapi. Semua dokumen dapat diselesaikan oelhnya hari itu juga. Dan proses pengeluaran barang pun dimulai. Selama 3 hari sejak hari senen Lingga berada digudang untuk mengeluarkan barang mesin itu. Pada hari ke 4, Pak Herman datang dan melihat hasil kerja Lingga.

“Hebat kamu...semua bisa berjalan dengan baik...”kata Pak Herman. “Kalau seperti ini, 1 minggu bisa selesai....” loanjut Pak Herman sambil menepuk bahu Lingga.

“Iya Pak...semoga saja bisa...” jawab Lingga dengan bangga.

“Sudah berapa lama kamu tidak tidur...?” tanya Pak Herman.

“Sudah 3 hari Pak...kalau mandi disini  bisa....” jawab Lingga sambil menunjuk kamar kecil yang ada di gudang tersebut.

“Ini saya bawakan makanan...makan dulu kamu....” kata Pak herman sambil menyerahkan 2 bungkus nasi padang ke Lingga.

“Terima kasih Pak...” jawab Lingga menerima nasi itu.

“Biar saya lihat lihat proses muat barangnya dulu....” Pak herman berkata sambil beranjak pergi meninggalkan Lingga menuju kedalam gudang.


Hari Kamis malam, semua pekerjaan sudah selesai dan mesin semuanya sudah terkirim ke gudang importir. Lingga pergi ke kantor unutk memberikan laporan ke Pak Herman yang sudah sudah menunggu.

“Ini Pak laporan biaya operasionalnya....” Lingga berkata sambil menyerahkan laporan ke Pak Herman. “Ini dokumen dokumennya...” lanjut Lingga.

“Sini...saya periksa... kamu tunggu diluar dulu ya Ga...” kata Pak Herman.

Setelah memeriksa laporan keuangan dan kelengkapan dokumen, Pak Herman memanggil Lingga yang sedang merokok diluar kantor.

“Ini...saya sudah hitung semua...” kata Pak Herman. “Pekerjaan kita lebih cepat 1 minggu dari janji kita....bagus Ga....sukses....” lanjut Pak Herman.

“Saya berusaha semaksimal mungkin Pak...’ jawab Lingga sambil tersenyum.

“Ini uang buat kamu....simpan baik baik...pergunakan seperlunya...” kata Pak Herman sambil menyerahkan amplop yang berisi uang.

“Wah...terima kasih Pak...” jawab Lingga kegirangan.

“Kamu beli motor lah....”  perintah Pak Herman.

“Iya Pak....” Lingga menjawab.


Dengan gembira Lingga pulang ke rumah Om Ilham. Sesampainya dirumah, dibukanya amplop yang diberikan oleh Pak Herman. Lingga menghitung uang tersebut. Amplop itu berisi uang Rp 12.500.000. Uang yang sangat besar bagi Lingga. Bisa untuk beli motor seperti yang dibilang Pak Herman dan dia bisa punya uang untuk ajak Winda nanti jazz besok malam.

“Woi...udah pada makan lu lu pada?” tanya Lingga ke teman temannya.

“Asyikkkkk...dapat uang dari mana nih..?ngerampok lu ya...” kata Andri dengan bercanda.

‘Gokil lu...udah kita makan deh...” ajak Lingga kepada teman temannya.

“Mantap....dapat bonus nih kayanya...” seloroh Feri dan Yadi.

“Kaga....gue dapat lebihan dari boss gue...” jawab Lingga.

“Kebetulan...kita belum pada makan nih...’ kata Toto dan Amir menimpali.

“Gue mau makan soto Ga...” Aceng teriak.

“Ya udah....lu makan soto..kalo yang lain terserah mau makan apaan...” jawab Lingga sambil beranjak jalan.

“Kemon...............hari ini kita kaga makan mie rebus lagi....bosen gue......” seru Amir kegirangan sambil menari nari seperti anak kecil kesurupan.


Mereka semua makan bersama malam itu di warung dekat rumah. Riuh sekali suasana warung karena kedatangan mereka semua. Sambil bercanda dan tertawa mereka menunggu makan yang dipesan. Lingga senang dapat berbagi kebahagiaan kepada teman temannya. Lingga sengaja tidak menceritakan rencananya mengajak Winda nonton jazz besok malam kepada teman temannya. Lingga ingin merahasiakan ini semua karena Lingga takut ditolak. Dia berpikir lebih baik temannya tidak tahu, apalagi kalau nanti ditolak. Kalau diterima, baru Lingga akan memberi tahu mereka.


Keesokan harinya setelah selesai pekerjaan, Lingga menjemput Winda di kuliahannya.

“Gimana kabar kamu...?” tanya Lingga ke Winda.

“Baik...jadi malam ini kita nonton jazz...? tanya Winda.

“Jadi lah....kita naik taksi ya...biar engga pingsan kamunya...” jawab Lingga sambil menggoda Winda.

“Masih aja godain aku...udah yuk kita cari taksinya....” balas Winda.


Selama diperjalanan didalam taksi, tangan Lingga memegang tangan Winda.

“Sudah berapa lama ya kita berteman....?” tanya Lingga ke Winda.

“Sudah lebih dari 8 tahunan kali ya...” Winda coba menjawab. “Emang kenapa Ga...? kamu sudah engga mau berteman sama aku lagi ya...?” lanjut Winda sambil bertanya.

“Ya engga lah....aku cuma engga nyangka aja kita bisa berteman samapai hari ini....” jawab Lingga berdiplomatis.

“Iya...lama banget ya...” imbuh Winda.

“Hubungan kamu dengan Dimas...?” lanjut Lingga.

“Sudah putus Ga....” jawab Winda sambil tertunduk.

“Kenapa....?” tanya Lingga dengan penasaran.

“Dia engga bisa menjada hubungan dengan baik dan setia...” jawab Winda dengan sedih.


Dalam hatinya Lingga, ini merupakan sebuah kesempatan. Winda ternyata sudah sendiri dan putus dengan Dimas.

“Apakah gue bisa menggantikan Dimas? Apakah gue layak menjadi pacarnya Winda”  pertanyaan tersebut ada di hati Lingga. Dia hanya menatap kosong keluar jendela taksi. Lingga menatap lalu lalalng mobil motor yang melintas dijalan.


Sesampainya di Ancol temapat berlangsungnya konser musik Jazz malam itu, mereka berdua membeli popcorn dan minuman ringan. Lingga mengajak Winda untuk duduk diposisi paling depan. Mereka begitu asyik mendengar musik Jazz yang dimainkan para pemusik Jazz diatas panggung. Musik yang memiliki harmoni yang indah menambah suasana menjadi semakin romantis malam itu.

“Win...kita kesana yu...” Lingga berkata sambil menunjuk pendopo diujung sebelah kanan tak jauh dari panggung.

“Ayu.....” jawab Winda sambil berdiri.


Sesampainya dipendopo, mereka berdua melanjutkan obrolan sambil makan popcorn yang dibeli ketika pertama kali tiba.

“Begini lho Win...aku sebenarnya nagajak kamu nonton jazz karena aku mau bicara sesuatu ke kamu...” Lingga mencoba melanjutkan percakapan.

“Emangnya kamu mau ngomong apa sih sampai sampai ngajak nonton Jazz segala...” jawab Winda sambil memakan popcorn.

“Iya...kalau bicara di tempat lain sepertinya kurang sesuai dengan apa yang akau mau omongin ke kamu....” jawab Lingga.

“Emang mau bicara apa sih?bikin penasaran aja...” sahut Winda dengan tersenyum.

“Iya..aku mau ngomong.....” Lingga berkata.

“Ngomong apa....?” tanya Winda.

“Lho..kok diam gitu sih Ga....ngomong aja....aku engga nyakar kok...” kata Winda sedikit bergurau.

“Iya....aku mau bilang......” kata Lingga terputus putus seperti sambungan telepon kalau hujan lebat.

“Terus.....?” Winda bertanya sambil penasaran.

“Ehm...sebenarnya aku......” Lingga menjawab dengan gugup.

“Ih...jangan gugup gitu sih Ga....” sahut Winda mencoba untuk menenangkan.

Kerongkongan Lingga begitu susah untuk mengeluarkan kata kata bahwa dia cinta kepada Winda. Didalam pikirannya banyak hal yang dipikirkan jika ternyata Winda menolak cintanya. Lingga tak mau persahabatannya putus hanya karena masalah perasaannya. Dia tak mau kehilangan Winda.

“Ehm...aku sayang sama kamu Win...” Lingga berkata dan jantungnya berdegub kencang.

“Aku juga kok...” sahut Winda tersenyum.

“Iya...tapi aku lebih dari sekedar sayang....aku cinta sama kamu Win...” lanjut Lingga sambil memegang tangan Winda yang halus.

“Beneran kamu ga??? Jangan bercanda ah....” timpal Winda sambil memalingkan wajahnya.

“Beneran Win....” jawab Lingga mencoba untuk memastikan.

“Pasti kamu bercanda...iya kan...” tanya Winda sekali lagi kepada Lingga.

“Engga...aku serius...aku cinta sama kamu...” sahut Lingga.

“Tapi kita kan hanya sahabat....” Winda menjawab.

“Aku tahu kita sahabatan...tapi jika cinta dimulai daripersahabatan...apa itu salah?apakah itu engga boleh?” balas Lingga sambil menatap wajah Winda.

“Iya...tapi aku anggap kamu sebagai sahabat Ga...engga lebih dari itu...” timpal Winda.

“Tapi aku cinta ... dan kau berharap kamu mau menerima dengan apa adanya aku....” balas Lingga sambil mencium tangan Winda.

“Aku perlu waktu untuk menjawabnya...engga bisa secepat ini....aku harus berfikir dulu....” jawab Winda. “ Engga mungkin malam ini...” lanjutnya lagi.

“Kapan?butuh berapa lama kamu mau menjawab...?” tanya Lingga dengan halus.

“1 minggu...” balas Winda singkat.

“Ok...aku tunggu jawaban kamu....” timpal Lingga sambil memeluk tubuh Winda.

“Kamu benar cinta sama aku...” sahut Winda berbisik ke telinga Lingga.

“Iya Win...aku cinta...aku sayang sama kamu...” jawab Lingga dengan berbisik mesra.

“Kamu tunggu 1 minggu dulu ya....aku harus berfikir...aku perlu waktu...” balas Winda.

“Aku tunggu jawaban kamu ya...” sahut Lingga sambil mengusap mesra wajah Winda. “Yuk aku antar kamu pulang...” lanjutnya lagi.

Dari kejauhan suara musik sudah hilang dan lampu panggungpun sudah terlihat padam tanda bahwa konser musik sudah selesai. Para pengunjung yang datangpun sudah banyak yang pulang. Lingga dan Winda pun menyudahi pembicaraan mereka dan bergegas pulang. Mereka pulang dengan menggunakan taksi lagi. Sepanjang perjalanan, Winda menyandarkan kepalanya ke bahu Lingga. Sesekali Winda menatap wajah Lingga. Banyak pertanyaan dibenak mereka berdua malam itu.

Keinginan untuk bersahabat....tetap bersahabat....
Sekarang dibubuhi dengan sebuah kata yaitu “Cinta”

“Apakah “Cinta” akan membuat mereka semakin dekat atau malah membuat kami semakin jauh ?”.
“Apakah “Cinta” akan mampu membuat kami saling memiliki tanpa saling menyakiti?”.
“Apakah dengan “Cinta” mereka berdua akan hidup bahagia?”.
“Bisakah “Cinta” akan tetap mampu menjaga hubungan baik kami berdua?”.
“Bukan kah dengan persahabatan saja sudah cukup?”.

Mungkin itulah pertanyaan yang sekarang ada didalam hati mereka masing masing.

Pertanyaan yang akan bisa terjawab dengan seiringnya waktu.
Pertanyaan yang akan bisa terjawab jika mereka mampu menjalaninya dengan indah.
Pertanyaan yang akan bisa terjawab kalau mereka mampu menjaga perasaan.
Pertanyaan yang membawa mereka kepada 2 pilihan.
Pertanyaan yang sekarang menggangu pikiran mereka.
Pertanyaan yang ada karena sebuah kata “Cinta”.
Cinta yang mampu merubah segalanya...Cinta yang memberi warna pada dunia...
Cinta yang membuat mereka ada didunia...tak sedikit juga Cinta yang berakhir duka.
Cinta yang mampu memberi rasa yang berbeda... dan tak sedikit juga Cinta yang berakhir bahagia.


Salam bakul...